Assalamu ’alaikum wr. wbRedaksi Bahtsul Masail
PKB Kab Tegal yang terhormat. Langsung saja, belakangan ini ramai dibicarakan masalah Lesbian, Gay, Biseksual, dan Transgender (LGBT). Yang saya tanyakan, apa hukum hubungan seksual LGBT dalam Islam dan apa konsekuensinya? Apakah status pernikahan mereka? Mohon penjelasannya. Terima kasih.
Wassalamu ’alaikum wr. wb. (Abdullah/Jakarta).
 |
Hukum Hubungan Seksual dan Perkawinan LGBT (Gay 1) (Sumber Gambar : Nu Online) |
Hukum Hubungan Seksual dan Perkawinan LGBT (Gay 1)
JawabanPenanya yang budiman di mana saja berada, semoga Allah SWT merahmati kita semua. Sebagaimana pernah disebutkan pada tulisan sebelumnya, kita berencana membahas LGBT satu per satu. Sebelumnya kita telah membahas lesbian. Pada kesempatan ini kita akan membicarakan soal gay.
PKB Kab Tegal
Masyarakat umumnya memahami gay sebagai pelaku homoseks. Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) homoseks adalah hubungan seks dengan pasangan sejenis (pria dengan pria). Meskipun demikian, keterangan KBBI belum memberikan kejelasan lebih rinci kepada kita. Karena pembahasan hubungan homoseks setidaknya meliputi bentuk hubungan seksual dan jenis pelaku seks itu sendiri.
Pada kesempatan ini kita akan membahas terlebih dahulu sejumlah bentuk hubungan seksual antarpria. Hubungan seksual antarpria bisa mengambil banyak bentuk. Misal, salah satu dari keduanya memasukkan dzakar ke dubur pasangannya. Ini yang disebut perilaku sodomi. Terkait ini, Syekh M Nawawi Banten menerangkan sebagai berikut.
PKB Kab Tegal
? ? ? ? ? ? ? ? ? ?) ? ? ? ? ? ? ? ? ? ? ? ? ? ?.Artinya, “Siapa saja melakukan
liwath dengan seseorang, yakni ia memasukkan dzakarnya di anus seseorang, dikenakan sanksi hudud. Kalau
muhshan (sudah pernah kawin dengan perkawinan sah), ia dirajam. Kalau bukan
muhshan, ia dikenakan sanksi
jilid dan diasingkan. Salah satu pendapat mengatakan,
muhshan atau bukan mesti dibunuh dengan pedang,” (Lihat Syekh M Nawawi Banten,
Qutul Habibil Gharib, Tausyih ala Fathil Qaribil Mujib, Darul Fikr, Beirut, Cetakan I, Tahun 1996 M/1417 H, Halaman 247).
Perihal bentuk hubungan seksual seperti ini, Rasulullah SAW bersabda sebagai berikut,
? ? ? ? ? ? ? ? ? ? ? " ? ?Rasulullah SAW bersabda sebanyak tiga kali, “Allah melaknat orang yang berperilaku kaum Luth.”
Pada hadits lainnya, Beliau SAW mengatakan,
? ? ? ? ? ? ? ?: " ? ? ? ? ? ? ? ? ? "Rasulullah SAW bersabda, “Sungguh, sesuatu yang paling kukhawatirkan atas umatku adalah perilaku kaum Luth.”
Sementara pada kesempatan lain, Nabi Muhammad SAW mengatakan,
? ? ? ? ? ? ? ? ? ? ? ? ? ? ? ?Rasulullah SAW bersabda, “Jika perilaku kaum Luth sudah menjalar, Allah SWT mengangkat tangan-Nya dari makhluk. Ia tidak peduli mereka akan binasa di lembah mana saja.”
Berkaitan dengan ini, Allah berfirman,
? ?: ? ? ? ? ? ?Allah berfirman, “Kalau azab kami datang, kami jadikan pijakan mereka di atasnya,” (Surat Hud, ayat 82).
Selain bentuk hubungan di atas, ada juga bentuk hubungan seksual di mana salah seorang pasangan memasukkan dzakarnya ke dalam vagina
khuntsa musykil (hermafrodit), manusia berkelamin dua jenis, jantan dan betina.
Hubungan jenis ini tidak bisa dibilang sebagai zina. Karenanya orang yang melakukan hubungan seksual seperti ini tidak dikenakan hudud.
? ? ? ? ? ? ? ? ? ? ? ? ? ? ? ?Artinya, “Keenam, di luar dari praktik zina adalah ketika seseorang memasukan dzakarnya ke vagina
khuntsa musykil (hermafrodit), ia tidak dikenakan hudud karena bisa jadi
khuntsa musykil ini pria. Farjinya pun kemungkinan hanya lubang lebih,” (Lihat Sulaiman Al-Bujairimi,
Tuhfatul Habib ‘alal Khatib, Darul Fikr, Tahun 2007 M, Juz IV, Halaman 169).
Selain dua bentuk di atas, pasangan pria bisa jadi memuaskan hasrat seksual dengan pelukan, ciuman, kontak langsung menggunakan paha, dan anggota tubuh lainnya. Hal ini disinggung oleh Syekh Abub Bakar Al-Hishni dalam
Kifayatul Akhyar,
? ? ? ? ? ? ? ? ? ? ? ?: ? ? ? ? ? ? ? ? ? ? ? ? ? ? ? ? ? ?: ? ? ? ? ? ? ? ? ?: ? ? ? ? ? ? ? ? ? ? ? ? ? ? ? ? ? ? ? ? ?: ? ? ? ? ? ? ? ?: ? ? ? ? ? ? ? ? ? ? ? ? ? ? ? ?: {? ? ? ? ? ? ? ? ? ? ?} [?: 114] ? ? ? ? ?: ? ? ? ? ? ? ?: «? ? ?» ? ? ? ? ? ? ? ? ? ? ? ? ? ?.Artinya, “(Siapa saja berjima’ tidak melalui farji (kemaluan depan), harus ditakzir. Ia tidak dikenakan sanksi hudud. Sanksi takzirnya tidak boleh mencapai batas terendah dari sanksi hudud). Bila seorang pria berhubungan seksual kepada perempuan ajnabiyah (bukan istrinya) bukan dengan farji, harus ditakzir. Ia tidak dikenakan sanksi hudud berdasarkan riwayat Abu Dawud dari Sahabat Ibnu Mas‘ud RA. Ibnu Mas‘ud RA bercerita bahwa ada seorang pria mendatangi Rasulullah SAW. ‘Aku mengobati seorang perempuan yang datang dari ujung Madinah. Aku kemudian berhubungan seksual dengannya tanpa melalui farji. Jatuhkan sanksi untukku?’ kata lelaki itu. Sayidina Umar RA yang hadir saat itu menjawab, ‘Sebenarnya Allah telah menutupi aibmu kalau kau sendiri tidak melaporkannya ke sini.’ Rasulullah SAW sendiri tidak menjawab sepatah kata pun. Pria itu bangkit, kemudian beranjak pergi. Rasulullah SAW bergegas bangkit dan menyusul pria itu sambil membaca ayat Al-Quran, ‘Lakukan shalat pada? dua tepi siang dan pada kegelapan malam. Sesungguhnya kebaikan itu akan menghapus kejahatan,’ [Surat Hud ayat 114]. Salah seorang bertanya, ‘Apakah itu khusus untuknya ya Rasul?’ ‘Ini berlaku untuk manusia secara umum,’ jawab Rasulullah SAW, HR Muslim dan At-Turmudzi. Demikian pula berlaku bila seorang pria berhubungan seksual tidak melalui fari kepada seorang anak kecil atau pria dewasa lainnya.
Wallahu a‘lam,” (Lihat Abu Bakar Al-Husaini Al-Hishni,
Kifayatul Akhyar fi Halli Ghayatil Ikhtishar, Darul Fikr, Beirut, Tahun 1994 M/1414 H, Juz II, Halaman 147).
Berkaitan dengan hubungan seksual jenis ini, ada baiknya kita simak keterangan dari DR Musthafa Diyeb Al-Bugha.
? ? ? ? ? ? ? ? ? ? ? ? ? ?: ? ? ? ? ? ? ? ? ? ? ? ? ? ? ?: ? ? ? ? ? ? ? ? ? ? ? ? ? ? ? ? ? ? ? ?Artinya, “(Siapa saja berjima’ tidak melalui farji (kemaluan depan), harus ditakzir. Ia tidak dikenakan sanksi hudud. Sanksi takzirnya tidak boleh mencapai batas terendah dari sanksi hudud), siapa saja melalui farjinya melakukan kontak langsung dengan salah satu dari anggota tubuh perempuan dewasa atau tubuh pria dewasa misalnya semua praktik
foreplay seperti ciuman dan lain sejenisnya, harus ditakzir. Ia mesti digembleng oleh pemerintah dengan sanksi tertentu seperti pukulan, pembuangan/pengasingan, tahanan, kecaman, dan bentuk sanksi lain. Pasalnya, praktik seksual ini termasuk maksiat yang tidak ada hudud dan kafarahnya,” (Lihat DR Musthafa Diyeb Al-Bugha,
At-Tadzhib fi Adillati Matnil Ghayati wat Taqrib, Daru Ibni Katsir, Beirut, Cetakan Keempat, Tahun 1989 M/1409 H, Halaman 208-209).
Lalu bagaimana dengan sanksi perilaku seksual seperti ini? Syekh M Syarbini Al-Khatib menyebut sejumlah sanksi bagi mereka yang melakukan seksual seperti ini.
? ? ? ? ? ? ? ? ? ? ? ? ? ? ? ? ? ? ? ? ? ? ? ? ? ?. ? ? ? ? ? ? ? ? ? ? ? ?.Artinya, “Siapa saja yang berhubungan seksual bukan melalui farji, tetapi pemuasan seksual melalui paha, pelukan, ciuman, atau semilsanya, dikenakan takzir yang ditetapkan pemerintah seperti pukulan, tamparan, tahanan, atau pengasingan. Pemerintah berhak menjatuhkan semua sanksi itu sekaligus terhadap pelakunya. Tetapi pemerintah juga punya hak untuk menjatuhkan sebagian sanksi tersebut,” (Lihat Syekh M Syarbini Al-Khatib,
Al-Iqna’ fi Halli Alfazhi Abi Syuja‘, Darul Fikr, Beirut, Tahun 2007 M/ 1427-1428 H).
Dari pelbagai keterangan di atas, kita setidaknya menangkap bahwa masalah gay ini mesti dipulangkan pada perilaku seksual yang mereka gunakan. Sementara masalah perasaan atau kecenderungan, tidak ada sanksi untuk itu. Masalah perasaan atau orientasi seksual menjadi domain medis yang perlu dikonsultasikan dengan ahlinya. Kita percaya bahwa para ahli memiliki alternatif sendiri dalam menangani masalah orientasi seksual seperti ini.
Lalu bagaimana dengan perkawinan pasangan sejenis, antarpria dalam konteks ini? Perkawinan sejenis ini tentu tidak bisa dilegalkan karena tidak memenuhi syarat perkawinan secara syara’/agama. Perihal sanksi takzir, kita serahkan kepada pemerintah melalui peraturan yang berlaku. Pemerintah pula yang berhak menjalankan peraturannya melalui aparat yang berwenang. Kita tidak berhak mengeksekusi para pelaku.
Demikian jawaban yang bisa kami kemukakan. Semoga jawaban ini dipahami dengan baik. Semoga Allah SWT menjaga kita semua dari kecenderungan-kecenderungan seks sejenis dengan segala bentuknya. Masyarakat bisa berpartisipasi dalam mewujudkan rehabilitasi bagi saudara kita yang memiliki kecenderungan seksual yang berbeda. Pelaku hubungan seksual sejenis, dianjurkan untuk bertobat kepada Allah.
Insya Allah, Dia akan menerima tobat hamba-Nya. Perihal
khuntsa musykil dan
mukhannats (pria dengan kecenderungan wanita) akan kita bahas dalam kesempatan berikutnya. Kami selalu terbuka untuk menerima saran dan kritik dari para pembaca.
Wallahul muwaffiq ila aqwamith thariq
Wassalamu’alaikum wr. wb(
Alhafiz Kurniawan)
Dari Nu Online:
nu.or.idPKB Kab Tegal Daerah, Pahlawan, Tokoh PKB Kab Tegal