Selasa, 04 Januari 2011

Aswaja Berparadigma Global

Muhammad Al-Fayyadl*--- Dalam sebuah sarasehan Aswaja (Ahlussunnah wal jama’ah) yang diselenggarakan para pemuda dan pemudi Nahdlatul Ulama (IPNU dan IPPNU) di sebuah kota kecil di Jawa Timur, pertanyaan jenial itu muncul: bagaimana ber-Aswaja dengan cara berpikir global?

Bukan semata-mata karena yang melontarkannya anak-anak muda yang datang dari desa dan latar belakang keluarga santri yang sederhana. Tetapi juga karena pertanyaan itu datang dari sebuah tempat di pelosok, yang cukup jauh dari hiruk-pikuk keriuhan “politik global” – berbeda bila datang dari kalangan mahasiswa atau warga NU yang berada di luar negeri.

Aswaja Berparadigma Global (Sumber Gambar : Nu Online)
Aswaja Berparadigma Global (Sumber Gambar : Nu Online)

Aswaja Berparadigma Global

Ada sederet hal yang menjadi kegelisahan anak-anak muda itu, yang diajukan kepada penulis untuk dijawab dalam sesi panel diskusi: bagaimana Aswaja di mata dunia? Bagaimana ber-Aswaja di era globalisasi? Dan pada gilirannya, bagaimana ber-Aswaja dengan cara berpikir global?

PKB Kab Tegal

Pertanyaan-pertanyaan yang tak mudah. Pertama, pertanyaan itu melampaui apa yang dipikirkan oleh para tokoh NU yang berjasa merumuskan pemikiran ke-Aswaja-an NU, sebutlah – untuk menyebut generasi mutakhir – Gus Dur atau Kiai Said Aqil Siradj sendiri. (Lagi-lagi kita akan kaget bercampur gembira bahwa pertanyaan itu dilontarkan oleh santri-santri muda NU.) Wacana Aswaja yang menjadi bidang garapan para tokoh tersebut, khususnya Gus Dur (untuk menyebut stadium terakhir dan bentuk paling “kosmopolit” dari wacana Aswaja yang pernah dimunculkan NU), baru berhenti pada ranah negara (bagaimana agama mendapat tempat dalam negara yang bukan negara Islam), dan belum pada ranah antar-negara (inter-states), lebih-lebih antar-bangsa (inter-national). Secara konseptual, dalam berbagai tulisannya, ada fase ketika persoalan-persoalan dunia menjadi perhatian Gus Dur. Yang pertama, secara analogis, yaitu ketika Gus Dur mencoba memandang persoalan-persoalan dunia secara analogis dengan yang terjadi di dalam negeri. Ini fase esai-esai di Tuhan Tidak Perlu Dibela. Selebihnya fase keterlibatan (engagement), yaitu ketika Gus Dur melibati persoalan itu dengan menempatkan keprihatinannya pada titik yang sentral: bagaimana Islam dapat terlibat dalam membangun perdamaian dunia. Tetapi tidak secara khusus tentang Aswaja.

Kedua, pertanyaan itu membuka dimensi yang tidak terpikirkan dalam pemikiran ke-NU-an yang berpijak pada pengalaman lokalitas dan penghayatan atas hal-hal yang familiar dari tradisi setempat. Sangat sulit, jika bukannya “intimidatif”, memaksa seorang warga NU untuk berkomentar tentang suatu dinamika politik di Argentina, atau memintanya menanggapi sebuah penangkapan demonstran di sebuah pawai massa di New York. Hal-hal itu terlalu asing dan jauh dari dunia “kultural”-nya. Praktis pertanyaan itu hanya dapat dilontarkan oleh generasi NU yang lain, yang terikat dengan lokalitasnya namun mengalami pertemuan dengan arus global dan dituntut menanggapinya, sedikit-banyak untuk meredam kontradiksi antara lokalitasnya dan arus baru yang dapat mengasingkannya dari lokalitas itu.

PKB Kab Tegal

Dan itulah persisnya yang dihadapi anak-anak muda itu, yang mungkin merasakan bahwa dunia kini telah menjadi bagian dari kampung halaman mereka yang terdekat.

Untuk memenuhi permintaan mereka, penulis membuat sebuah draft yang berjudul “Aswaja untuk Kekinian: Tantangan Global, Jawaban Lokal”. Untuk merintis suatu pendekatan “global” atas Aswaja, kita mesti menjadikan fenomena global sebagai tantangan. Namun merumuskan tantangan itu saja tidak mudah, karena persoalan-persoalan global yang dihadapi oleh umat manusia hari ini sudah sedemikian kompleks dan berjalin-kelindan dengan persoalan-persoalan struktural yang ruwet dan diferensiasi kehidupan yang kelihatannya terpisah namun terkait satu sama lain. Scott Sernau, dalam Global Problems (2006), menyebut sedikitnya dua belas rumpun persoalan: kelas, kerja, gender dan keluarga, pendidikan, kejahatan, perang, demokrasi dan HAM, etnisitas dan agama, urbanisasi, populasi dan kesehatan, teknologi dan energi, serta ekologi. Sementara Aswaja? Aswaja adalah suatu paradigma beragama. Dapatkah suatu paradigma beragama menjawab sederet persoalan yang penyelesaiannya membutuhkan pendekatan “non-agama”?

Belajar dari kegagalan setiap gerakan yang ingin menjadikan agama sebagai solusi yang tuntas dan instan, maka Aswaja tidak dapat diperlakukan sebagai satu-satunya jawaban “dogmatis”, melainkan sebagai tawaran, suatu proposal, suatu kerangka kerja, suatu inspirasi bagi transformasi dunia yang lebih baik, dalam arti sebenarnya. Tidak semua orang, tentu saja, menganut Aswaja, tetapi Aswaja dapat menjadi kerangka kerja yang memungkinkan berbagai pihak bekerja bersama untuk mencari solusi atas persoalan bersama yang dihadapi.

Lagi-lagi persoalannya tidaklah semudah membalik telapak tangan. Lebih mudah menjawab “bagaimana Aswaja di mata dunia” daripada “bagaimana ber-Aswaja dengan cara berpikir global”, lebih-lebih “bagaimana memecahkan persoalan dunia dengan kerangka berpikir Aswaja”. Pertanyaan pertama dapat dijawab dengan menyajikan statistik: Aswaja, atau Sunnism, dianut oleh kira-kira delapan puluh persen umat Muslim di dunia, kecuali di beberapa negara di mana Syi’ah (Shiism) atau ideologi-ideologi keagamaan lain dominan. Kepenganutan itu sendiri sudah menjadi kekuatan besar untuk suatu perubahan, atau minimal mempertahankan suatu tradisi yang baik dari pengrusakan kekuatan-kekuatan luar.

Hal itu terlihat dari kasus Tunisia dalam Pemilu terakhir baru-baru ini – kekuatan politik Sunni dapat membendung kekuatan politik reaksioner anti-demokratis, yang ingin memanfaatkan situasi pasca-revolusioner untuk tujuan-tujuannya yang sempit. Namun, itu pun tidak sepenuhnya. Kepenganutan Aswaja yang kuat tidak menjamin kemampuannya untuk diporakporandakan oleh ekstremisme dan ideologi-ideologi keagamaan militan yang reaksioner. Gerakan takfiri dan ekstremis-teroristik yang haus kekuasaan, seperti Wahhabi (untuk yang pertama) dan ISIS (untuk yang kedua), terus menjadi tantangan yang mengintai setiap saat.          

Pertanyaan tentang “bagaimana Aswaja di mata dunia”, dengan kata lain, adalah semata soal membuka dan mengetahui seberapa dalam dan seberapa besar kekuatan “internal” umat Muslim di dunia hari ini, yang sebagian besar bisa dipastikan menganut setidaknya satu dari keempat mazhab fiqh dan berakidah dengan salah satu dari dua mazhab teologi Asy’ariyyah dan Maturidiyyah, serta menerima tasawuf sebagai warisan tradisional yang berharga. Namun itu bukan jaminan untuk membanggakan diri. Mengetahui kenyataan demikian, juga berarti bertanya tentang seberapa kuat daya tahan Aswaja menghadapi godaan perpecahan umat, sektarianisme, dan aksi-aksi kekerasan yang dilancarkan oleh kaum puritan. Seberapa ampuh dan efektif Aswaja dapat menjadi pelindung bagi tradisi-tradisi yang baik (al-qadim ash-shalih) yang setiap saat berada dalam ancaman destruksi, dan terus-menerus menjadi sasaran kaum puritan itu?    

Dengan bertanya demikian, mungkin kita akan mampu menjawab “bagaimana ber-Aswaja di era globalisasi”. Dengan mengetahui kekuatan dan daya tahan internal Aswaja, kita dapat mengukur seberapa jauh kekuatan tersebut mampu menghadapi tantangan-tantangan global. Seperti disinggung di atas, tidak cukup memahami Aswaja semata-mata Aswaja sebagai paham keagamaan, sementara tantangan global yang dihadapi tidak mesti bersifat keagamaan. Paham keagamaan itu merupakan modal yang perlu di-upgrade  agar dapat menjadi perekat bagi ikatan-ikatan sosial yang riil yang setiap saat mengalami proses pelapukan dan destruksi karena globalisasi yang mendorong individualisme, eksploitasi, kekerasan, dan oportunisme yang sempit. Dengan berlandaskan pada sikap-sikap tawassuth, tawazun, dan i’tidal, maka keragaman pemahaman dan praktik keagamaan yang menjadi mozaik dari kaum Sunni di berbagai negeri akan dapat meregenerasi ikatan-ikatan sosial itu, dan memperkuat tidak saja persaudaraan seagama (ukhuwwah islamiyyah) tetapi juga persaudaraan kemanusiaan (ukhuwwah basyariyyah). Aswaja tidak saja muncul sebagai ikatan keagamaan, tapi juga ikatan sosial baru. Seorang Muslim kulit langsat di pelosok Indonesia dapat menjalin ikatan dengan seorang Muslim kulit hitam dari Afrika Tengah, atau seorang muallaf kulit putih dari sebuah negeri di Eropa Barat. Perbedaan dan keragaman latar belakang ras, budaya, dan mazhab fiqh yang dianut menjadi kekuatan yang mempertemukan dan memungkinkan lahirnya solidaritas baru.

Globalisasi yang dimungkinkan oleh interaksi dan konektivitas di antara berbagai pihak, dapat memungkinkan ikatan-ikatan baru yang tak terduga di antara berbagai elemen penganut Aswaja di berbagai negeri. Hal ini akan memungkinkan pengenalan akan lokalitas masing-masing, dengan melihat keterbatasan masing-masing lokalitas sebagai salah satu dari sekian manifestasi dari keragaman wajah Islam. Kekhasan dialek, kekhasan tradisi zikir dan perayaan sosial (Maulid, khitanan, perayaan kelahiran) akan terungkap dalam pertemuan antar-lokalitas itu. Jika Gus Dur pernah menggulirkan gagasan “pribumisasi Islam”, maka dalam perspektif global, penting melihat bagaimana pribumisasi itu terjadi di masing-masing negeri; bagaimana setiap komunitas Muslim mempribumikan Islam dengan caranya masing-masing. Tekanan akan lokalitas masing-masing komunitas Muslim itulah yang akan membedakan “kosmopolitanisme” Aswaja dari kosmopolitanisme dalam teori-teori liberal yang mempromosikan pluralisme tanpa keberakaran tertentu atas lokalita.

Lokalitas itu mungkin menjadi suatu parameter bagi suatu konsepsi yang lebih komprehensif tentang Aswaja berparadigma global. Tetapi itu baru satu parameter, yang bisa jadi belum satu-satunya. Dibutuhkan “ijtihad” untuk menggali Aswaja berparadigma global. Tetapi satu hal setidaknya pasti: generasi Aswaja berwawasan global merupakan generasi poliglot yang mampu berinteraksi dengan beragam bahasa.[]

*Mantan Ketua Tanfidziyah Pengurus Cabang Istimewa (PCI) NU Prancis, Periode 2013-2014.

Dari Nu Online: nu.or.id

PKB Kab Tegal Hikmah, Halaqoh, Internasional PKB Kab Tegal

Kamis, 30 Desember 2010

KH Maimun Zubair Hadiri Haul KH Najib Suyuthi

Blora, PKB Kab Tegal. Keluarga besar Pondok Pesantren Al-Hikmah Ngadipurwo, Blora, Jawa Tengah, Ahad (15/4) malam, menggelar penringatan haul KH M Najib Suyuthi. Haul dihadiri KH Maimun Zubair yang juga pengasuh Pondok Pesantren Al-Anwar Sarang dan KH Abdul Hamid Baedhowi yang juga pengasuh Pondok Pesantren Al-Wahdah Lasem.?

KH Maimun Zubair Hadiri Haul KH Najib Suyuthi (Sumber Gambar : Nu Online)
KH Maimun Zubair Hadiri Haul KH Najib Suyuthi (Sumber Gambar : Nu Online)

KH Maimun Zubair Hadiri Haul KH Najib Suyuthi

”Mbah Moen (KH Maimun Zubair) kalih (dan) Mbah Hamid (KH Abdul Hamid Baedhowi) ingkang maringi (yang akan memberi) mauidhoh hasanah,” ujar salah satu putra (Alm.) KH M Najib Suyuthi, Gus Habib, saat ditemui PKB Kab Tegal, di komplek Pondok Pesantren Al-Hikmah, Ngadipurwo.

Gus Habib, yang juga santri di Pondok Pesantren Al-Anwar Sarang itu menambahkan, ada sejumlah rangkaian haul mayayikh. Di antaranya siang hari dilaksanakan temu alumni pesantren. Temu alumni yang dihadiri ? santri berbagai angkatan itu dilaksanakan di salah satu aula pesantren. Dan, selepas sholat dhuhur, dilaksanakan khotimil qur’an dan tahlil di makam KH M Najib Suyuthi. ?

PKB Kab Tegal

Sedangkan untuk puncak acara haul digelar pengajian akbar. Pengajian akbar dilaksanakan di pelataran pesantren pada Ahad malam. Selain dihadiri kedua ulama tersebut, haul juga dihadiri ribuan kaum muslimin. Mereka datang dari berbagai pelosok desa. Khususnya dari Kabupaten Rembang, Blora dan sekitarnya.

Pesantren Al-Hikmah terletak di Desa Ngadipurwo Kecamatan Blora kota itu, yang lokasinya berada di perbatasan dua kabupaten: Blora dan Rembang. Selain mengelola Madrasah Diniyah (Madin), pesantren tersebut juga mengelola SMK Al-Hikmah dan MTs Ma’arif II. Kedua sekolah itu berada di dalam komplek pesantren.

PKB Kab Tegal

Redaktur ? ? : A. Khoirul Anam

Kontributor: Sholihin Hasan

Dari Nu Online: nu.or.id

PKB Kab Tegal Tegal, Nasional, Kiai PKB Kab Tegal

Jumat, 17 Desember 2010

Hj Milhatun Pimpin Muslimat Kutai Kartanegara

Kutai Kartanegara, PKB Kab Tegal. Pimpinan Cabang Muslimat NU Kabupaten Kutai Kartanegara, Kalimantan Timur mengadakan Konferensi Cabang di Gedung Pengurus Cabang Nahdlatul Ulama kabupaten tersebut pada Ahad (10/1).

Kegiatan tersebut diikuti empat Pimpinan Anak Cabang Muslimat yaitu dari Kecamatan Tenggarong Seberang, Kecamatan Loa Kulu, dan Kecamatan Muara Badak.

Hj Milhatun Pimpin Muslimat Kutai Kartanegara (Sumber Gambar : Nu Online)
Hj Milhatun Pimpin Muslimat Kutai Kartanegara (Sumber Gambar : Nu Online)

Hj Milhatun Pimpin Muslimat Kutai Kartanegara

Hadir pula pada kesempatan itu Ketua Pengurus Wilayah Muslimat Kaltim Hj Aminah, Ketua PCNU Kabupaten Kutai Kartanegara, Ketua LAZISNU Kaltim H. Muh. Khozin.

PKB Kab Tegal

Dalam sambutannya ketua PCNU berharap konfercab berjalan dengan tertib dan sesuai mekanisme organisasi serta berpedoman kepada? AD dan ART.

Pada konfercab tersebut, Muslimat NU memilih Hj Milhatun Alhafidah sebagai ketua masa khidmah 2016 - 2021 mengantikan Hj Salhah, ketua periode 2010- 2015. (Chairul Anwar/Abdullah Alawi)

PKB Kab Tegal

Dari Nu Online: nu.or.id

PKB Kab Tegal News, IMNU PKB Kab Tegal

Kamis, 16 Desember 2010

Majelis Zikir dan Barzanjian Bendung Radikalisme

Jepara, PKB Kab Tegal. Kelompok sufistik yang bergerak secara massif di kota dan di desa menampilkan wajah Islam yang rahmatan lil alamin. Majelis zikir, jamaah Selawat, dan perkumpulan Barzanjian menjauhkan umat Islam dari pemahaman sempit beragama yang berujung pada kekerasan atas nama agama.

Majelis Zikir dan Barzanjian Bendung Radikalisme (Sumber Gambar : Nu Online)
Majelis Zikir dan Barzanjian Bendung Radikalisme (Sumber Gambar : Nu Online)

Majelis Zikir dan Barzanjian Bendung Radikalisme

“Katakanlah jamaah sufi yang diprakarsai Habib Syekh dan Habib Luthfi. Gerakan keduanya sangat dahsyat. Karena, keduanya mengajarkan antikekerasan kepada warga dengan pendekatan popular,” kata Rektor Universitas Wahid Hasyim (Unwahas) Semarang H Noor Ahmad di Pesantren Roudlotul Mubtadiin Balekambang desa Gemiring Lor kecamatan Nalumsari kabupaten Jepara, Jawa Tengah, Ahad (24/11). 

Di Jakarta, meski budaya hedonis membabi buta, jamaah serupa juga luar biasa. Hal ini jelas bukan lantaran para haba’ib tidak punya pekerjaan. Namun itu merupakan solusi terbesar untuk membendung radikalisme, tegas H Noor Ahmad dalam seminar bersama kiai se-Jepara dengan tajuk “Pesantren Sebagai Benteng Antisipasi Deradikalisme”.

PKB Kab Tegal

H Noor Ahmad yang juga Ketua Umum Lembaga Perguruan Tinggi Nahdlatul Ulama (LPTNU) melanjutkan, dengan eksistensi kelompok sufi niscaya mata rantai radikalisme terputus. Setidaknya, gerakan-gerakan susupan yang radikal itu tidak akan besar.

Sedangkan Bupati Jepara H Ahmad Marzuqi dalam sambutannya mengharapkan forum itu berdampak luar di masyarakat. “Pencerahan yang diberikan pembicara menjadi antisipasi bagi para kiai dan santri.”

PKB Kab Tegal

Catatan dalam seminar itu harus disebarkan kepada para santri dan masyarakat. Sehingga radikalisme berkurang di masyarakat, pungkas Marzuqi. (Syaiful Mustaqim/Alhafiz K)

Dari Nu Online: nu.or.id

PKB Kab Tegal Hikmah, Olahraga PKB Kab Tegal

Kamis, 09 Desember 2010

Ini Pentingnya Tawasul di Kalangan Muda

Kubu Raya, PKB Kab Tegal. Pengurus Ranting GP Ansor Pasak Piang menggelar Ansor Bershalawat, di kediaman Ketua Ranting Desa Pasak Piang, Kubu Raya, Kalimantan Barat, Sabtu (04/11) malam. Kegiatan yang menjadi agenda rutin ini dirangkaipembacaan Yasin dan Tahlilan.





Ini Pentingnya Tawasul di Kalangan Muda (Sumber Gambar : Nu Online)
Ini Pentingnya Tawasul di Kalangan Muda (Sumber Gambar : Nu Online)

Ini Pentingnya Tawasul di Kalangan Muda

Kegiatan yang dihadiri oleh seluruh pengurus, anggota Banser dan warga sekitar, bertujuan untuk menjaga ajaran-ajaran dan amalan-amalan keagamaan yang telah diajarkan oleh para kiai Nahdlatul Ulama dan para wali penyebar agama Islam di Nusantara.

Ketua GP Ansor Pasak Piang, Faishol menjelaskan selain ber-tawassul kepada para mendiang pendahulu-pendahulu layaknya khas tradisi Nahdliyyah, penghadiahan pahala juga dihaturkan kepada keluarga-keluarga keluarga anggota Ansor.

PKB Kab Tegal

“Siapa lagi yang akan melestarikan amaliyah NU seperti tahlilan, shalawatan, dan ber-tawasul kepada para pendahulu, guru-guru dan orang tua kita kalau bukan generasi muda Nahdlatul Ulama, agar mereka yang sudah meninggal pun merasakan manfaat dari kita yang ber-Ansor ini," jelas Faishol.

Menurutnya tugas dan kewajiban yang harus dilakukan pemuda Ansor selain menjaga gerakan Islam Indonesia sebagai agama Islam yang rahmatan lil alamin,? kiprah Ansor juga harus turut dalam membangun jasmani dan rohani.

PKB Kab Tegal

"Dan tidak melupakan para pendahulu yang telah memperjuangkan Islam dan Nahdlatul Ulama," tegasnya.

Usai yasinan dan tahlilan, kegiatan dilanjutkan musyawarah membahas beberapa hal, seperti penguatan kapasitas kepengurusan dan agenda berikutnya. (Anty Husnawati/Kendi Setiawan)

Dari Nu Online: nu.or.id

PKB Kab Tegal PonPes, Doa, Ulama PKB Kab Tegal

Madrasah Diniyah Kawah Candradimuka Pembentukan Karakter Bangsa

Tegal, PKB Kab Tegal. Ketua Pengurus Cabang NahdlatulUlama (PCNU) Kabupaten Tegal, Jawa Tengah, H Akhmad Wasyari mengungkapkan, Madrasah Diniyah (Madin) adalah Kawah Candradimuka dalam pembentukan karakter bangsa.?

"Jika ruang gerak madrasah dipersempit karena pemberlakukan lima hari sekolah, maka Negara tidak berpihak kepada Pembentukan Karakter Bangsa," tegas H Wasyari saat menyampaikan pernyataan sikapnya pada Aksi Tolak Full Day School di depan Taman Rakyat Slawi, Jumat (25/8)

Madrasah Diniyah Kawah Candradimuka Pembentukan Karakter Bangsa (Sumber Gambar : Nu Online)
Madrasah Diniyah Kawah Candradimuka Pembentukan Karakter Bangsa (Sumber Gambar : Nu Online)

Madrasah Diniyah Kawah Candradimuka Pembentukan Karakter Bangsa

Ia juga mendesak agar pemerintah pusat segera membatalkan kebijakan tersebut. Dia mengungkapkan, warga Kabupaten Tegal juga merupakan bagian dari Bangsa Indonesia. Untuk itu, dia meminta agar Mendikbud mendengarkan aspirasinya dan ditindaklanjuti.

"Muhammadiyah adalah kawan kita, tapi kita juga punya prinsip, rawe-rawe rantas malang-malang putung (artinya, segala sesuatu yang merintangi maksud dan tujuan harus disingkirkan)," kata Wasari.

PKB Kab Tegal

Di sela aksi, H Wasyari yang juga menjabat Sekretaris Dinas Dikbud itu menyampaikan surat pernyataan sikap PCNU Kabupaten Tegal kepada Bupati Tegal Enthus Susmono dalam bentuk besar/ekslusif yang isinya menolak kebijakan Permendikbud Nomor 23 Tahun 2017 tentang pemberlakuan lima hari sekolah.

Senada Rois Syuriyah PCNU Kabupaten Tegal KH Chambali Utsman juga meminta agar FDS segera dibatalkan. Sebab, kebijakan tersebut dapat mengurangi jam belajar siswa di Madrasah Diniyah Awaliyah (MDA) yang dilaksanakan setiap sore.

Padahal, menurut KH Chambali, madrasah Diniyah merupakan pendidikan dasar agama yang penting untuk membekali generasi muda dengan Akhlakul Karimah.

"Tanpa lestari dan eksisnya madrasah, maka fondasi generasi muda tidak bisa terlaksana. Mari pertahankan MDA. Permendikbud (Nomor 23 Tahun 2017) harus dihapus," tegasnya.?

Aksi tolak Full Day School diikuti 32000 massa yang berasal dari pengurus dan anggota banom dan lembaga NU, muslimat, Fatayat, GP Ansor, PMII, IPNU, IPPNU, LP Maarif, RMI, FKDT dan puluhan ribu warga NU Kabupaten Tegal. (Hasan/Fathoni)

PKB Kab Tegal

Dari Nu Online: nu.or.id

PKB Kab Tegal Santri PKB Kab Tegal

Sabtu, 04 Desember 2010

Sarbumusi NU: Jangan Abaikan Kewajiban THR Bagi Buruh

Jakarta, PKB Kab Tegal. Dewan Pimpinan Pusat Konfederasi Sarikat Buruh Muslimin Indonesia (DPP K Sarbumusi) Nahdlatul Ulama mengingatkan Presiden dan Menteri Tenaga Kerja Republik Indonesia untuk tidak mengabaikan Tunjangan Hari Raya (THR) keagamaan kepada buruh di lingkungan pemerintahan dan perusahaan.

Presiden DPP K Sarbumusi Syaiful Bahri Anshori di Jakarta, Selasa (14/6) menjelaskan, THR merupakan pendapatan non upah yang diberikan oleh pengusaha kepada pekerja/buruh menjelang hari raya keagamaan.

Sarbumusi NU: Jangan Abaikan Kewajiban THR Bagi Buruh (Sumber Gambar : Nu Online)
Sarbumusi NU: Jangan Abaikan Kewajiban THR Bagi Buruh (Sumber Gambar : Nu Online)

Sarbumusi NU: Jangan Abaikan Kewajiban THR Bagi Buruh

Menurut dia pula, Peraturan Pemerintah nomor 78 tahun 2015 tentang Pengupahan pada pasal 6 menyatakan, pendapatan non upah sebagaimana dimaksud dalam pasal 4 ayat 2 huruf b berupa tunjangan hari raya keagamaan.

"Dalam konteks tunjangan hari raya keagamaan sebagaimana yang diatur dalam peraturan pemerintah itu, merupakan penghasilan yang layak menurut definisi tersebut, artinya bahwa amanat peraturan pemerintah menegaskan kebijakan pengupahan diarahkan untuk pencapaian penghasilan yang memenuhi penghidupan yang layak bagi pekerja atau buruh," katanya.

PKB Kab Tegal

Syaiful kemudian melanjutkan, penghidupan yang layak didefinisikan sebagai jumlah penerimaan atau pendapatan pekerja/buruh dari hasil pekerjaannya sehingga mampu memenuhi kebutuhan hidup pekerja/buruh dan keluarganya secara wajar.

Jumlah penerimaan/pendapatan ? yang memenuhi kebutuhan hidup pekerja/buruh dikatagorikan sebagai pendapatan upah dan non upah, dalam konteks ini pendapatan non upah mengikuti definisi dari PP 78/2015 salah satunya dalam bentuk tunjangan hari raya keagamaan yang diberikan kepada pekerja/buruh.

PKB Kab Tegal

"Terkait THR, DPP K Sarbumusi menyampaikan sejumlah seruan. Pertama, meminta Presiden Republik Indonesia untuk segera menunaikan kewajibannya sebagai kepala negara dan kepala pemerintahan dengan memberikan THR keagamaan kepada seluruh pekerja atau buruh perjanjian kerja waktu tertentu di lingkungan pemerintah pusat, pemerintah daerah dan sekretariat jenderal DPR dan seluruh lembaga pemerintahan," kata Syaiful lagi.

Sarbumusi juga meminta Kementerian Tenaga Kerja Republik Indonesia untuk memperketat pengawasan bagi pengusaha dan Instansi pemerintah yang tidak menunaikan kewajiban pemberian Tunjangan hari Raya keagamaan bagi pekerja/buruhnya untuk diberikan sanksi yang tegas, demikian Syaiful Bahri Anshori. (Gatot Arifianto/Fathoni)

Dari Nu Online: nu.or.id

PKB Kab Tegal Anti Hoax, Doa PKB Kab Tegal