Rabu, 18 Oktober 2017

Kerja Sama dengan PBNU, BPJS Optimis Capai Target Program

Jakarta, PKB Kab Tegal - Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU) dan Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS) Ketenagakerjaan melakukan penandatanganan kerja sama di Gedung PBNU Jakarta Pusat, Senin (27/6) sore.

Sekertaris Jenderal PBNU, Helmy Faishal Zaini mengatakan, ada dua tahap yang segera dilakukan setelah penandatanganan, yaitu sosialisasi terhadap 43 pengurus cabang dan wilayah NU se-Indonesia pada Senin 27 Juni malam. Tahap sealanjutnya adalah upaya penyadaran kepada masyarakat luas tentang pentingnya keanggotaan BPJS.

Kerja Sama dengan PBNU, BPJS Optimis Capai Target Program (Sumber Gambar : Nu Online)
Kerja Sama dengan PBNU, BPJS Optimis Capai Target Program (Sumber Gambar : Nu Online)

Kerja Sama dengan PBNU, BPJS Optimis Capai Target Program

Direktur Perluasan Kepesertaan dan Hubungan Antar Lembaga BPJS E. Ilyas Lubis mengungkapkan penandatanganan kerja sama dengan NU akan diimplementasikan dalam bentuk bagaimana warga NU yang bekerja di unit-unit ekonomi akan ikut asusransi ini. Selain itu pihak BPJS akan mempermudah pendaftaran peserta BPJS dengan sistem elektronik.

PKB Kab Tegal

Ilyas menambahkan sosialisasi BPJS perlu dilakukan guna menyebarluaskan manfaat secara luas. Ia berkeyakinan semakin banyak peserta BPJS akan semakin baik jaminan sosial bagi masyarakat tersebut. Jaminan sosial merupakan hak seluruh pekerja, termasuk pekerja di bidang sosial.

BPJS menargetkan tahun ini akan ada 22 juta pekerja aktif yang tergabung dengan BPJS. Di samping itu, berdasarkan UU No. 40 tahun 2004 tentang Sistem Jaminan Sosial, BPJS menargetkan angka universal coverage pada sektor formal sebanyak 50 juta jiwa pada tahun 2019. Untuk bisa mencapai target tersebut, perlu dilakukan kerja sama dengan seluruh elemen masyarakat.

PKB Kab Tegal

Saat ini BPJS Ketenagakerjaan memiliki 203 kantor cabang perintis di daerah di seluruh Indonesia. Ilyas optimis sosialisasi kepada warga NU akan memudahkan pencapaian target tersebut. (Kendi Setiawan/Abdullah Alawi)

Dari Nu Online: nu.or.id

PKB Kab Tegal Habib, Budaya PKB Kab Tegal

Selasa, 17 Oktober 2017

Netizen NU Jawa Tengah Deklarasi Anti-Hoax

Pekalongan, PKB Kab Tegal. Di tengah gencarnya berita-berita fitnah dan konten hoax di media sosial, Netizen Nahdlatul Ulama (NU) Jawa Tengah bergerak menyatukan barisan. Netizen NU Jawa Tengah, mengampanyekan bermedia sosial secara inspiratif dan berakhlakul karimah, dengan Deklarasi Damai Netizen NU, di Aula Gedung NU Pekalongan, Jateng, Ahad (8/1).

Hadir dalam Silaturahmi dan Kopdar Netizen NU Jateng, HA. Helmy Faisal Zaini (Sekjen PBNU), Arief Rohman (Wakil Bupati Blora), H. Bisri (FKB-DPR RI), Sukirman (Wakil Ketua DPRD Jateng), Hasan Chabibie (Pegiat Literasi), dan beberapa pegiat media sosial, di antaranya M. Rikza Chamami (Dosen UIN Walisongo Semarang), Sholahuddin Al-Ahmadi (GP Ansor Jateng), Abdullah Hamid (RMI PBNU), dan Munawir Aziz (LTN-PBNU).?

Netizen NU Jawa Tengah Deklarasi Anti-Hoax (Sumber Gambar : Nu Online)
Netizen NU Jawa Tengah Deklarasi Anti-Hoax (Sumber Gambar : Nu Online)

Netizen NU Jawa Tengah Deklarasi Anti-Hoax

Dalam agenda ini, didengungkan deklarasi damai Netizen NU Jateng, yang menyeru keaktifan warga Nahdliyyin untuk menyebarkan konten-konten inspiratif di media sosial. Deklarasi ini juga mendorong warga untuk memenuhi media sosial dengan berita, video dan grafis yang inspiratif, untuk melawan hoax.

Sekjen PBNU, Helmy Faisal Zaini mengungkapkan pentingnya bermedia sosial secara inspiratif. "Sekarang ini, dakwah menggunakan media sosial sangat penting untuk mengkampanyekan Islam ramah ala Nahdlatul Ulama," terang Helmy. PBNU menyelenggarakan Kopdar Netizem di beberapa kota untuk menyelaraskan dakwah di media sosial.?

PKB Kab Tegal

Hasan Chabibie, Pegiat Literasi dan praktisi pendidikan, menegaskan pentingnya gerakan Literasi Digital untuk komunitas pesantren. "Saat ini fenomena hoax sudah demikian membahayakan. Perlu gerakan sistematis untuk melawan hoax, dengan memilah konten-konten di media sosial sekaligus memproduksi konten inspiratif untuk dakwah media sosial," terang Hasan.?

Komunitas pesantren dan warga Nahdliyyin perlu diaktifasi agar cerdas bermedia sosial. Sukirman, Wakil Ketua DPRD Jawa Tengah, menegaskan pentingnya menggerakkan komunitas untuk berdakwah di media sosial.?

"Media sosial cukup efektif untuk menggerakkan gagasan. Warga bisa langsung lapor kepada Presiden Jokowi dan Gubernur, atau pemimpin daerah lainnya, jika ada masalah mendesak di lingkungannya," jelas Sukirman.?

PKB Kab Tegal

Wakil Ketua DPRD Jateng ini juga mendorong pelatihan-pelatihan media sosial, agar warga NU dan komunitas pesantren mampu menggerakkan gagasan melalui media sosial. Tujuannya, agar warga Jateng cerdas bermedia dan mampu menenggelamkan hoax.?

"Jawa Tengah harus menjadi contoh sebagai daerah bebas hoax dengan media sosial yang bervisi Ahlussunnah wal Jamaah an-Nahdliyah," tegas Sukirman.

Dalam agenda ini, lebih dari 200 peserta hadir memenuhi lokasi kegiatan, yang datang dari berbagai kota di Jawa Tengah. Sebelumnya, peserta juga berpartisipasi dalam rangkaian Maulid Akbar di Kanzus Sholawat, yang diselenggarakan Jamiyyah Thariqah yang diasuh Habib Luthfi bin Yahya. (Zulfa/Fathoni)

Dari Nu Online: nu.or.id

PKB Kab Tegal Internasional PKB Kab Tegal

Presiden Sering ke Pesantren, DPR RI: Perhatikan Kesehatan Santri!

Jakarta, PKB Kab Tegal 



Anggota Komisi IX DPR RI Nihayatul Wafiroh meminta Kemenkes RI serius dalam memperhatikan kualitas kesehatan para santri. Menurut dia, sudah seharusnya santri mendapatkan fasilitas kesehatan yang memadai.

Presiden Sering ke Pesantren, DPR RI: Perhatikan Kesehatan Santri! (Sumber Gambar : Nu Online)
Presiden Sering ke Pesantren, DPR RI: Perhatikan Kesehatan Santri! (Sumber Gambar : Nu Online)

Presiden Sering ke Pesantren, DPR RI: Perhatikan Kesehatan Santri!

“Sejak awal duduk di Komisi IX, saya sudah mengingatkan Kemenkes akan kewajibannya memperhatikan kesehatan para santri. Tetapi Kemenkes abai terhadap hal ini. Sampai sekarang belum ada alokasi anggaran untuk pusat kesehatan santri,” tegasnya, di Jakarta, Kamis (12/10) melalui siaran pers. 

Perlu diketahui, Kemenag mencatat kurang lebih ada 23.000 pesantren di Indonesia, belum lagi yang tidak terdata. Pesantren-pesantren itu tersebar di seluruh pelosok penjuru Indonesia.

Namun, biasanya, pesantren terletak jauh dari fasilitas kesehatan pemerintah. Oleh karenanya pesantren sangat butuh pusat kesehatan santri dan alat-alat penunjangnya seperti ambulans. 

“Bayangkan, ada pesantren yang memiliki santri 6000. Jumlah itu sudah seperti penduduk satu desa. Dan tidak ada dana dari pemerintah untuk kesehatan santri. Kalau disuruh pengasuhnya menanggung, lalu apa fungsi pemerintah?” tegasnya.

PKB Kab Tegal

Ia menambahkan bahwa Presiden Joko Widodo sering datang ke pesantren, tetapi abai terhadap persoalan-persoalan pesantren. 

“Pesantren jangan jadi bemper saja,” terang politisi Partai Kebangkitan Bangsa (PKB) itu. 

Realitasnya, santri dalam satu pesantren adalah imaji satu bangsa, bangsa Indonesia, beraneka suku , kelas, ada dalam satu pesantren. Pemerintah sudah sebaiknya tidak terus menerus beretorika memihak santri. Sudah saatnya mewujudkan janji dengan program nyata. (Red: Abdullah Alawi)

PKB Kab Tegal

Dari Nu Online: nu.or.id

PKB Kab Tegal Kiai, IMNU, Pemurnian Aqidah PKB Kab Tegal

Kiai Syaifudin Amsir Bercerita Kiai dan Santri Betawi

Pesantren kiai Betawi di Jakarta dinilai tidak mampu bertahan lama. Sejak dahulu para kiai Betawi memang gemar mendirikan pesantren dengan bangunan asrama yang sangat sederhana. Namun, usia pesantren mereka cukup singkat. Bertahan sampai dua puluh tahun, para kiai Betawi itu sudah terbilang sukses.

Untuk itu, KH. Saifuddin Amsir, Rais Syuriyah PBNU asal Betawi ini bercerita kepada Alhafiz Kurniawan dari PKB Kab Tegal terkait usia dan masalah pesantren Betawi di Jakarta. Dialog berlangsung di ruang Syuriah PBNU lantai empat, Gedung PBNU, Kramat Raya nomor 164, Jakarta Pusat, Selasa (6/11) sore.

Kiai Syaifudin Amsir Bercerita Kiai dan Santri Betawi (Sumber Gambar : Nu Online)
Kiai Syaifudin Amsir Bercerita Kiai dan Santri Betawi (Sumber Gambar : Nu Online)

Kiai Syaifudin Amsir Bercerita Kiai dan Santri Betawi

Mengapa kultur kiai Betawi dan kiai Jawa agak berbeda dalam menangani pondok pesantren?.

PKB Kab Tegal

Pendirian pondok pesantren itu mudah. Tetapi merawatnya, itu yang agak sulit. Kultur pondok pesantren itu sudah membenam kuat di kalangan kiai Betawi. Tetapi kultur itu kan tidak berdiri sendiri. Kultur itu dihadapkan pada kenyataan-kenyataan di sekitarnya. Kiai Betawi bikin (pesantren, red.) juga. Tetapi nasib dari kelanggengan pesantren itu tidak sama antara Jakarta dengan daerah lain.

Kenyataan model apa yang menjadi tantangan tradisi pesantren di Jakarta?.

PKB Kab Tegal

Antara lain ya urusan keduniaan. Keduniaan menuntut orang tua di Jakarta untuk mengubah orientasi pendidikan anak mereka. Dari situ, pendidikan sistem pondok, kurang dilirik oleh orang tua.

Itu pula yang mengubah perilaku masyarakat Betawi. Mereka dihadapkan untuk menyaingi jangkauan-jangkauan orang kafir yang ada di Betawi. Yang bila dia tidak ikut menyusul, maka dia akan tersisihkan, teralienasi dari kehidupan Jakarta. Itu yang mesti disadari.

Berbeda dengan yang ada di Jawa. Daerah yang terpajang maju itu, hanya ada pada lapis depannya saja. Untuk ke belakangnya, kalau bukan hutan ya tentu sawah. Lain dengan Jakarta. Pada zaman kolonial, Jakarta sudah punya metropol, kapitol, gedung bola Harmoni yang dikunjungi orang-orang dunia saat itu.

Sekarang rumah bola Harmoni sudah nggak ada itu. Yang jadi Duta Merlin, saya pernah membaca alquran di situ, di hotel jaman dulu. Masih kita melihat lantainya dari kayu jati yang mungkin tebalnya sejengkal untuk berdansa. Dan NU pun pernah hadir di situ. NU mentradisikan sesuatu yang belum pernah menjadi tradisi di Jakarta. 

Habis pengajian, mereka menyetel musik. Itu terjadi pada tahun 1969. Saat itu saya masih suka membaca Al-Quran.

Lalu bagaimana reaksi para kiai melihat kenyataan demikian?. Kiai Betawi menolak. ‘Jangan kata kiai, ustad-ustad sederhana aja kagak mau bikin begini (mencampur tradisi agama dalam pesta-pesta),’ kata saya dalam hati. Dan itu bukan ulama Betawi. Ulama Betawinya pada mundur. Itu sudah terjadi sejak zaman pak Idham Cholid. Dia ketua Tanfidziyah NU waktu itu. Dia paham menyanyi, paham ini, paham itu. Dia cerdas dan piawai dalam berceramah. Dia politisi juga.

Saya mengerti itu karena dahulu saya suka mengikutinya lantaran saya suka diminta buat membaca Al-Quran. Emang (kualitas membaca Al-Quran, Red) tidak sebaik yang sekarang. Kalau sekarang kan emang dipelajarin. Kalau dahulu sih, bisa saja udah untung (Kiai Saifuddin tertawa lebar). 

Jakarta terbilang unik. Di daerah yang menjadi pusat keduniaan baik dari segi ekonomi maupun kekuasaan, terlahir banyak kiai di dalamnya. Mereka umumnya menggali ilmu agama di kota Mekkah dengan sistem pondok pesantren. Tetapi ada juga kiai Betawi yang belajar dari guru-guru alumni Mekkah.

Mereka kemudian menerapkan sistem pondok di daerahnya. Namun, kehidupan metropolitan menuntut warganya untuk mengubah model pondok pesantren menjadi sekadar majelis taklim. Tidak seperti di Jawa atau Sunda, pondok pesantren di Betawi umumnya berumur singkat karena kurang dukungan dari warganya.

Kita bisa menyebut pondok pesantren yang didirikan oleh Guru Marzuki, pendiri pertama NU Jakarta, di bilangan Jatinegara, Jaktim, dan pondok pesantren Guru Makmun, ayah KH. Abdurrazak Makmun, Katib Syuriah PBNU 1967, Kuningan, Jaksel.

Kedua pesantren ini di tahun 1930-an sangat berkontribusi bagi pengembangan kaderisasi keulamaan. Kiai Betawi generasi berikutnya banyak berhutang budi kepada dua pondok pesantren tersebut. Karena, banyak kiai-kiai tangguh Betawi dibesarkan oleh pengajaran dan keberkahan dua pondok tersebut. KH Abdullah Syafi‘I adalah satu dari sekian banyak santri pondok pesantren Guru Marzuki.

Negosiasi tradisi pesantren dan gaya hidup metropolitan menghasilkan sistem baru dalam pendidikan keagamaan di Betawi. Sistem pondok berubah menjadi model madrasah. Sebut saja madrasah Raudlatul Muta‘alllimin, Kuningan Jaksel, yang digagas pada tahun 1950-an.

Madrasah ini mengakomodir santrinya tanpa harus bermukim di asrama. Di dalamnya kurikulum pesantren diterapkan. Selebihnya, para santri pulang ke rumah. Di luar madrasah, para santri membekali diri dengan aneka keterampilan sebagai tuntutan hidup di kota metropolitan.

Meskipun pesantren di Jakarta timbul-tenggelam, kiai Betawi generasi berikutnya tidak jera untuk mendirikan pesantren. Kita bisa mendapati sejumlah pondok. Mereka antara lain Pesantren Miftahul Ulum Gandaria Jaksel oleh Guru Ishaq Yahya, Pesantren Asy-Syafi‘iyah Pondok Gede oleh KH Abdullah Syafi‘i, Ma’had Ali Al-Arbain, Al- Asyirotus Syafi‘iyyah Kebayoran Lama oleh KH Syafi‘I Hadzami.

Para kiai Betawi mengambil posisi seperti apa?. Kiai di kampung-kampung itu sebelnya setengah mati. Anda bayangkan saja! Masya Allah, habis membaca Alquran, para undangan di sebuah hotel itu dangdutan. Terang aja, para kiai kampung di Betawi ini, jengkel. Mereka bilang, “Gua kagak nyangka ada kiai (Idham Cholid) nyang model begitu”. Jadi pada waktu itu, ya begitu adanya. 

Jadi Anda bayangkan NU yang dari belakang, dalam, dari ini, dari pinggiran, dari Amuntai seperti pak Idham Cholid harus mentolerir itu kehidupan keagamaan di kota.

Bagaimana bisa menjelaskan hal seperti itu, Pak Kiai?. Hal ini sesungguhnya pernah terjadi pada zaman sahabat Rasulullah di Madinah dan di negeri Syam. Umar bin Khattab pernah menegur gubernurnya yang ada di perbatasan, “Lasta amiran, bal anta malik.” Ente ini bukan pemimpin, ente ini raja. Itu ucapan yang diberikan kepada Muawiyah bin Abi Sofyan dan kepada Amr bin Ash yang di Mesir. Karena, mereka ada pada garis demarkasi, berhadapan langsung dengan (tradisi agama dan budaya, Red) orang lain. Nah, Jakarta begitu kebanyakan, nggak kuat kalau dibandingkan dengan keikhlasan orang Jawa.

Apakah kiai Betawi kurang ikhlas pak kiai?. Bukan begitu maksudnya.

Jadi bagaimana memandang para kiai Betawi?. Kiai Betawi ya, dia masih ada di sini (Jakarta) saja, sudah syukur alhamdulillah. Dia mau saja begini (mengajar kitab kuning di majelis taklim), itu nggak dapat keuntungan apa-apa. Dia ada cuma untuk agamanya. Hartanya, dia bikin habis. Kalau kamu mau bikin pesantren di Jakarta, siapa yang mau mondok di Jakarta. Usianya nggak bakalan lama. Itu kan terjadi berulang-ulang. Orang dulu di sini yang udah alim-alim, kalau sekadar mengajar ngaji saja tanpa menyediakan makanan, juga nggak dikunjungi orang. Jadi ilmu juga, ya (keluar) duit juga. (kiai Saifuddin mengumbar tertawa cukup lama).

Tetapi, pada zaman itu saya lihat khidmat orang desa Betawi dan para kiainya luar biasa. Mereka tetap semangat dalam mengembangkan pendidikan agamanya baik dengan model pesantren atau pun sistem majelis taklim.

Ini berkaitan dengan keseriusan kiai Betawi dalam mengelola pesantren?. Kalau para kiai Betawi di Jakarta dinilai kurang serius mendirikan pondok, sepertinya harus dipertimbangkan. Dan ini terjadi di kota-kota besar, bukan hanya di Jakarta.

Buktinya, mereka tetap serius kok menyebarkan ilmu pesantren. Coba lihat, guru saya delapan tahun di Mekkah. Sampai karomahnya sudah kelihatan. Dia mengajar di banyak majelis taklim. Tapi Istrinya kalau pagi menjual pisang goreng karena dia mempertahankan tradisi pesantren. Dia tidak mau masuk ke dalam gaya hidup metropolitan. Selain ilmu pesantren, dia juga mempertahankan kezuhudan di tengah silang-menyilang kehidupan keduniaan di tengah kota.

Ulama kayak gitu itu banyak di Jakarta. Makanya ketahuan oleh masyarakat kalau dia itu kiai besar, ketika ulama Jawa sudah bertemu dengan mereka. Gus Dur kan pernah minta berhenti mobilnya di tengah perjalanan, “Sebentar dulu saya mau ketemu teman saya yang lagi jalan kaki.”

Kiai Saifuddin Amsir adalah kiai masyhur Betawi, asal Kampung Berlan, Matraman, Jakarta Pusat. Dia pernah berguru kepada KH Syafi’I Hadzami, Rais Syuriyah PBNU 1994-1999, pendiri pesantren Ma‘had Ali Al-Arbain Al-Asyirotus Syafi‘iyah, Kebayoran Lama, Jakarta Selatan.

Kiai Saifuddin juga pernah berguru cukup lama kepada KH Abdullah Syafi‘i, pendiri perguruan Asy-Syafi‘iyyah, Tebet dan Pondok Gede. Selain pada keduanya, Kiai Saifuddin juga menimba ilmu agama dari para kiai Betawi di Jakarta Pusat dan Jakarta Timur.

Kini, dia mengajar di sejumlah majelis taklim di Jakarta. Antara lain, dia mengajar tafsir Ibnu Katsir pada majelis taklim Ahad pagi di Masjid Ni’matul Ittihad, Pondok Pinang, dan kitab Ihya Ulumiddin pada Masjid Taman Puring, Gandaria, Jakarta Selatan, Senin malam. Dalam kesehariannya, Kiai Saifuddin tercatat sebagai dosen tetap di Fakultas Ushuluddin UIN Jakarta.

Dari Nu Online: nu.or.id

PKB Kab Tegal Meme Islam PKB Kab Tegal

Menengok Kemeriahan Lebaran WNI di Pakistan

Islamabad, PKB Kab Tegal

Sekalipun tidak berlebaran di Indonesia dan berada jauh dari tanah air, masyarakat Indonesia yang berada di Pakistan tetap merayakan Idul Fitri dengan suka cita. Hal ini karena KBRI Islamabad melaksanakan berbagai kegiatan selama bulan Ramadhan sampai dengan perayaan Idul Fitri tahun 1437 H.

Menengok Kemeriahan Lebaran WNI di Pakistan (Sumber Gambar : Nu Online)
Menengok Kemeriahan Lebaran WNI di Pakistan (Sumber Gambar : Nu Online)

Menengok Kemeriahan Lebaran WNI di Pakistan

"Tahun ini sangat istimewa, pasalnya Lebaran di Pakistan jatuh pada hari yang sama dengan di Indonesia yaitu tanggal 6 Juli 2016," tutur Budiarto Kurniawan selaku Ketua Panitia. Idul Fitri di Pakistan biasanya lebih lambat satu bahkan dua hari setelah Indonesia.

Untuk memfasilitasi warga Negara Indonesia (WNI) yang merayakan Lebaran, KBRI menggelar shalat Idul Fitri di Aula Budaya Nusantara KBRI setempat. Bertindak sebagai khatib, Ustadz Hendro Risbiantoro, mahasiswa Pasca Sarjana di IIU Islamabad. Dan sebagai Imam, Dhia Ul-Haque, cucu almarhum KH Nur Ali, pahlawan nasional dari Bekasi.

PKB Kab Tegal

Dalam khutbahnya Hendro mengingatkan hadirin untuk tetap bersatu dan saling menguatkan serta berpegang teguh pada tali agama Allah, khususnya dalam menghadapi berbagai isu global akhir-akhir ini. "Kita harus optimis bahwa umat Islam akan mencapai kejayaannya, selama tetap pada jalan Allah SWT dan berorientasi memberikan manfaat bagi kemaslahatan manusia," tuturnya.

PKB Kab Tegal

Duta Besar RI, Iwan Suyudhie Amri dalam sambutannya menilai penting apa yang disampaikan oleh khatib seraya mengajak seluruh WNI di Pakistan untuk meningkatkan kewaspadaan, kehati-hatian, dan tidak mudah terpancing dengan berbagai stimulasi yang ditunggangi kepentingan tertentu.

"Hendaknya nilai-nilai Ramadhan yang baru berlalu tetap dapat dipertahankan dan dipelihara dalam meniti kehidupan warga Indonesia di Pakistan," tutur Dubes kepada para hadirin. "Jauh dari tanah air bukan berarti tradisi-tradisi Lebaran di tanah air tidak bisa dihadirkan di Pakistan," sambung Dubes. Untuk meyakinkan para warga Indonesia, Dubes menggelar open house di Wisma Duta pukul 12.00 pada hari yang sama.

 

Obat Kangen

Para tamu yang mayoritasnya adalah mahasiswa, santri Jamaah Tabligh, dan mereka yang menikah dengan warga Pakistan tampak senang ketika mendapatkan menu open house adalah makanan yang biasa dihidangkan di Indonesia saat Lebaran. Sebut saja rendang, semur ayam, daging tunjang, sambal ijo, sambal kentang ati, soto padang, asinan bogor, sup buah, kue nastar, stick bawang, kroket, sampai dengan tape uli Betawi, dan lain-lain.

"Kangen saya terobati karena sudah lama tidak menemukan menu seperti ini di Pakistan," tutur salah seorang WNI yang menikah dengan warga Pakistan.

Tidak itu saja, nuansa Lebaran kali ini juga dimeriahkan dengan bagi-bagi angpau oleh Dubes Iwan kepada para anak kecil yang ikut open house. Suasana riuh dan penuh sorak anak-anak pun tidak dapat dihindari saat menerima angpau berisi uang dari Dubes. Para orang tua yang melihat pun turut senang dan sesekali turut mengantre untuk mewakili anaknya. "Wah, jadi ingat masa kecil dulu semangat Lebaran karena bakal dapat angpau dari sanak saudara," ungkap salah satu warga.

Tahun 2016 ini KBRI Islamabad telah menyelenggarakan berbagai kegiatan yakni, shalat dzuhur dan tadarus berjamaah, buka puasa bersama, shalat maghrib berjamaah, kultum/ siraman rohani menjelang berbuka, shalat Isya dan shalat tarawih berjamaah, peringatan nuzulul qur’an, takbiran berjamaah, serta ditutup dengan open house Dubes. Kegiatan tersebut telah mendekatkan komunikasi dan interaksi antara KBRI dan masyarakat Indonesia, serta memupuk hubungan baik antara elemen masyarakat Indonesia di Pakistan. (Muladi/Mahbib)

Dari Nu Online: nu.or.id

PKB Kab Tegal Pahlawan, Internasional PKB Kab Tegal

Bahas Korupsi dan Kunjungan Bush

Jakarta, PKB Kab Tegal

Masalah korupsi dan kunjungan Presiden Amerika Serikat (AS) George W Bush ke Indonesia menjadi masalah penting bagi dua organisasi kemasyarakatan Islam besar di Indonesia, Nahdlatul Ulama (NU) dan Muhamadiyah. Ketua Umum Pengurus Besar (PB) NU KH Hasyim Muzadi dan Ketua Umum PP Muhamadiyah Din Syamsuddin, Selasa (14/11) kemarin menggelar pertemuan di Kantor PP Muhamadiyah, Jakarta, untuk membahas masalah gerakan moral antikorupsi dan kunjungan Bush.

Hasyim, demikian ia akrab disapa, datang ke Kantor PP Muhamadiyah pukul 14.00 WIB dan langsung menggelar pertemuan tetutup selama kurang lebih satu jam. Pada pertemuan itu, ia datang sendirian, sementara Din didampingi sejumlah petinggi PP Muhamadiyah.

Usai pertemuan, Hasyim kepada wartawan mengatakan, pertemuannya dengan Din, di antaranya membahas masalah gerakan moral melawan korupsi. PBNU dan Muhamadiyah, katanya, telah menjalin kerja sama dengan Partnership untuk melakukan gerakan moral antikorupsi. Dan, pertemuan itu dimaksudkan untuk membahas tindak lanjut gerakan moral tersebut.

Bahas Korupsi dan Kunjungan Bush (Sumber Gambar : Nu Online)
Bahas Korupsi dan Kunjungan Bush (Sumber Gambar : Nu Online)

Bahas Korupsi dan Kunjungan Bush

“Kita membahas masalah gerakan moral melawan korupsi. NU dan Muhamadiyah telah melakukan kerja sama dengan Patnership untuk gerakan moral tersebut. Sekarang sudah ada KPK (Komisi Pemberantasan Korupsi) tapi belum optimal,” kata Hasyim.

Mantan Ketua Pengurus Wilayah NU Jawa Timur itu menambahkan, gerakan pemberantasan korupsi di Indonesia memang sudah ada. Namun, ia melihat masih banyak kelemahan karena belum mampu mengatasi masalah korupsi yang telah menjadi penyakit bangsa. ”Kita bahas kembali, kalau memang gerakan moral itu masih diperlukan. Memang ada pemberantasan korupsi, tapi belum optimal,” jelasnya.

PKB Kab Tegal

Soal Bush

Selain membahas masalah korupsi, Presiden World Conference on Religion and Peace (WCRP) dengan Din juga membincangkan soal kunjungan Bush ke Indonesia 20 November mendatang. Menurutnya, rakyat Indonesia harus cerdas dan berkualitas dalam mereaksi kedatangan Bush ke Indonesia . “Saya berharap umat Islam di Indonesia lebih cerdas dan berkualitas dalam mereaksi aksi AS, tidak asal bereaksi,” tuturnya.

PKB Kab Tegal

Dalam kesempatan tersebut, pengasuh pondok pesantren Al-Hikam Malang itu juga menegaskan kembali keengganannya turut menyambut kedatangan Bush. Ia merasa perlu menunjukkan sikap lebih awal, meski belum tentu mendapat undangan dalam pertemuan dengan Bush. Ia juga mengaku hingga kini belum mendapat undangan untuk menyambut Bush dari pemerintah. ”Nggak ada (undangan-Red) karena belum apa-apa saya sudah bilang nggak hadir,” katanya.

Keengganannya itu, katanya, karena berbagai pertimbangan rasional, terutama terkait posisinya selaku Presiden WCRP. Jika dirinya turut menyambut Bush, maka secara langsung atau tidak langsung implikasinya adalah akan ada nuansa agama dalam berbagai konflik atau perang di beberapa negara, terutama di kawasan Timur Tengah, yang dimotori AS. ”Kalau saya hadir, akan kuat kembali justifikasi ada nuansa agama,” katanya.

Menurutnya, saat ini mulai berkembang kesadaran di kalangan umat beragama di seluruh dunia, bahwa agama tidak boleh lagi dijadikan “keranjang sampah” bagi agresi AS yang selalu membungkus tindakannya dengan alasan memerangi kelompok fundamentalis.

”Gejala ini sudah muncul di ICIS, OKI, WCC (sidang gereja dunia), juga Vatikan. Gereja Protestan dia AS bahkan pernah memohon maaf karena tidak bisa mencegah aksi yang dilakukan pemerintahnya, seperti menyerang Irak dan sebagainya,” katanya.

Di samping itu, beberapa masukan yang disampaikannya saat berkunjung ke Bali tahun 2003 silam tidak ada yang dilaksanakan oleh Bush. Masukan itu antara lain mendesak AS agar tidak menerapkan standar ganda dalam mengelola dunia serta serius menciptakan perdamaian di Timur Tengah. ”Masukan itu tidak ada yang dilakukan. AS malah memperkuat agresinya,” ungkapnya.

 

Sementara itu, Din berharap berbagai reaksi dari berbagai kelompok umat Islam tidak menjurus pada tindakan anarkis, karena itu akan merugikan bangsa Indonesia sendiri. ”Unjuk rasa itu damai saja. Jangan sampai terjadi hal-hal yang tidak diinginkan,” katanya. (rif)

Dari Nu Online: nu.or.id

PKB Kab Tegal Syariah, Sejarah, Fragmen PKB Kab Tegal

Senin, 16 Oktober 2017

Doa saat Susah Tidur

Zaid bin Tsabit suatu malam mengadu kepada Rasulullah SAW. Menurutnya, ia semalaman tidak bisa tidur. Bujang Rasulullah SAW ini hanya tergolek di pembaringan dalam keadaan jaga. Ia gelisah. Pikiran dan batinnya mengembara kian kemari.

Rasulullah SAW mengajarinya doa yang dapat mengatasi kesulitan tidur karena gelisah. Inilah doanya.

Doa saat Susah Tidur (Sumber Gambar : Nu Online)
Doa saat Susah Tidur (Sumber Gambar : Nu Online)

Doa saat Susah Tidur

? ? ? ? ? ? ? ? ? ? ? ? ? ? ? ? ? ? ? ? ?

PKB Kab Tegal

Allâhumma ghâratin nujûm wa hada’atil ‘uyûn, wa anta hayyun qayyûmun, lâ ta’khudzuhû sinatun wa lâ naum. Yâ hayyu, ya qayyûm, ahdi’ laylî wa anim ‘aynî.

Artinya, “Tuhanku, bintang-bintang telah ‘tenggelam’, dan banyak bola mata menjadi tenang sementara Kau adalah zat maha hidup dan zat maha tegak. Kantuk dan tidur tidak mempengaruhi-Mu. Wahai Zat Maha Hidup dan Zat Maha Tegak, tenangkan malam hamba dan istirahatkan sepasang bola mata hamba.”

PKB Kab Tegal

Zaid pun mengikuti anjuran Rasulullah. “Alhamdulillah, Allah hilangkan kegelisahan yang kuhadapi jelang istirahat di tempat tidur,” kata Zaid.

Doa ini dicantumkan Imam An-Nawawi dalam karyanya Al-Adzkar. (Alhafiz K)

Dari Nu Online: nu.or.id

PKB Kab Tegal Pendidikan PKB Kab Tegal