Senin, 09 Oktober 2017

Hukum Khitan Perempuan

Dalam riwayat Bukhari, Muslim dan Ahmad dari Abu Hurairah bahwa Rasulullah Saw. bersabda: “Ada lima macam yang termasuk fitrah, yaitu khitan, mencukur rambut yang tumbuh di sekitar kemaluan, menggunting kumis, memotong kuku dan mencabut bulu ketiak.”

Hadits tersebut menunjukkan bahwa Islam adalah ajaran yang komprehensif yang mengatur seluruh aspek kehidupan manusia, termasuk hal-hal yang sepele yang menjadi naluri kebiasaan manusia.

Dalam konteks khitan, ulama sepakat bahwa laki-laki dianjurkan untuk berkhitan, karena secara logika bisa dipahami, khitan merupakan bagian dari kebersihan (thaharah). Tetapi tidak demikian bagi perempuan, banyak kalangan terutama tenaga medis yang melarang khitan bagi perempuan. Sementara itu sebagian kalangan berpendapat bahwa khitan bagi perempuan harus dilakukan. Oleh karenanya, masalah khitan bagi perempuan perlu mendapatkan kejelasan secara tuntas dan menyeluruh.?

Ulama berbeda pendapat tentang hukum khitan bagi perempuan, ada yang mengatakan sunnah, dan ada yang mengatakan mubah. Sedangkan menurut al-Syafi’i hukumnya wajib, seperti hukum khitan bagi laki-laki sebagaimana dikemukakan Imam Nawawi.

Hukum Khitan Perempuan (Sumber Gambar : Nu Online)
Hukum Khitan Perempuan (Sumber Gambar : Nu Online)

Hukum Khitan Perempuan

Pendapat yang melarang khitan perempuan sebetulnya tidak memiliki dalil syar’i, kecuali hanya sekedar melihat bahwa khitan perempuan adalah menyakitkan korban (perempuan). Sementara hadits yang menjelaskan khitan perempuan (hadits Abu Dawud) tidak menunjukkan taklif disamping juga keshahihannya diragukan. Padahal ada kaidah ushul yang menyatakan bahwa ‘adam al-dalil lais bi dalil (tidak adanya dalil bukan merupakansuatu dalil).

Adapun pendapat yang mengatakan sunnah, berdasarkan hadits yang diriwayatkan oleh Imam Ahmad:

عَÙ? Ù’ أَبِÙ? الْمَلِÙ? حِ بْÙ? ِ أُسَامَةَ عَÙ? Ù’ أَبِÙ? هِ Ø£ÙŽÙ? ÙŽÙ‘ الÙ? َّبِÙ? ÙŽÙ‘ r قَالَ الْخِتَاÙ? ُ سُÙ? َّةٌ لِلرِّجَالِ مَكْرُمَةٌ لِلÙ? ِّسَاءِ (رَوَاهُ أَحْمَدُ)

PKB Kab Tegal

Dari Abu al-Malih bin Usamah, dari Ayahnya: “Sungguh Nabi Saw. bersabda: “Khitan itu hukumnya sunnah bagi para lelaki dan kemuliaan bagi para perempuan.” (HR. Ahmad)

Kata sunnah yang dikehendaki disini bukan berarti lawan kata wajib. Sebab kata sunnah apabila dipakai dalam sebuah hadits, maka tidak dimaksud sebagai lawan kata wajib. Namun lebih menunjukkan persoalan membedakan antara? hukum laki-laki dan perempuan. Dengan begitu, arti kata sunnah dan kata makrumah dalam hadits tersebut maksudnya adalah laki-laki lebih dianjurkan berkhitan dibanding perempuan. Sehingga bisa jadi artinya adalah laki-laki sunnah berkhitan dan perempuan? mubah. Atau wajib bagi laki-laki dan sunnah bagi perempuan. Atau laki-laki dianjurkan mengumumkan khitannya, baik dalam walimah al-khitan atau undangan, sedangkan perempuan justru yang baik dirahasiakan, tidak perlu diekspose atau disebarluaskan.

Sebagaimana disampaiakan oleh Ibnu Hajar al-Asqalani dalam Fath al-Bari Syarh Shahih al-Bukhari

?

PKB Kab Tegal

اَلْفِطْرَةُ خَمْسٌ أَوْ خَمْسٌ مِÙ? Ù’ الْفِطْرَةِ الْخِتَاÙ? ُ وَالاسْتِحْدَادُ ÙˆÙŽÙ? َتْفُ الْإِبْطِ وَتَقْلِÙ? مُ اْلأَظْفَارِ وَقَصُّ الشَّارِبِ )رَوَاهُ الْبُخَارِÙ? ُّ عَÙ? Ù’ أَبِÙ? هُرَÙ? ْرَةَ)?

? قَالَ الْمَاوَرْدِÙ? ُّ خِتَاÙ? ُهَا قَطْعُ جِلْدَةٍ تَكُوÙ? ُ فِÙ? أَعْلَى فَرْجِهَا فَوْقَ مَدْخَلِ الذَّكَرِ كَالÙ? َّوَاةِ أَوْ كَعُرُفِ الدِّÙ? كِ وَالْوَاجِبُ قَطْعُ الْجِلْدَةِ الْمُسْتَعْلِÙ? َّةِ مِÙ? ْهُ دُوÙ? ÙŽ اسْتِئْصَالِهِ وَقَدْ أَخْرَجَ أَبُو دَاوُدَ مِÙ? Ù’ حَدِÙ? ثِ أُمِّ عَطِÙ? َّةَ Ø£ÙŽÙ? ÙŽÙ‘ امْرَأَةً كَاÙ? َتْ تَخْتِÙ? ُ بِالْمَدِÙ? Ù? َةِ فَقَالَ لَهَا الÙ? َبِÙ? ُّ r (لَا تَÙ? ْهِكِÙ? فَإِÙ? ÙŽÙ‘ ذَلِكَ أَحْظَى لِلْمَرْأَةِ) وَقَالَ Ø£ÙŽÙ? َّهُ Ù„ÙŽÙ? ْسَ بِالْقَوِÙ? ِّ قُلْتُ وَلَهُ شَاهِدَاÙ? ِ مِÙ? Ù’ حَدِÙ? ثِ Ø£ÙŽÙ? َسٍ ÙˆÙŽ مِÙ? Ù’ حَدِÙ? ثِ أُمِّ Ø£ÙŽÙ? ْمَÙ? ÙŽ ثُمَّ أَبِÙ? الشَّÙ? ْخِ فِÙ? كِتَابِ الْعَقِÙ? قَةِ وَآخَرَ عَÙ? ِ الضَّحَاكِ بْÙ? ِ Ù‚ÙŽÙ? ْسٍ عِÙ? ْدَ الْبَÙ? ْهَقِÙ? ِّ قَالَ الÙ? َّوَوِÙ? ُّ ÙˆÙŽÙ? ُسَمَّى خِتَاÙ? ُ الرَّجُلِ إِعْذَارًا بِذَالٍ مُعْجَمَةٍ وَخِتَاÙ? ُ الْمَرْأَةِ خَفْضًا بِخَاءٍ وَضَادٍ مُعْجَمَتَÙ? Ù’Ù? ِ وَقَالَ أَبُو شَامَةَ كَلَامُ أَهْلِ اللُّغَةِ Ù? َقْتَضِÙ? تَسْمِÙ? َّةَ الْكُلَّ إِعْذَارًا وَالْخَفْضُ Ù? َخْتَصُّ بِالْأُÙ? ْثَى قَالَ أَبُو عُبَÙ? ْدَةَ عَذَرَتِ الْجَارِÙ? َةُ وَالْغُلَامُ وَأَعْذَرْتُهُمَا خَتَÙ? ْتُهُمَا وَأَخْتَÙ? ْتُهُمَا وَزْÙ? ًا وَمَعْÙ? ًى قَالَ الْجَوْهَرِÙ? ُّ وَالْأَكْثَرُ خَفَضَتِ الْجَارِÙ? َةُ قَالَ وَتَزْعُمُ الْعَرَبُ Ø£ÙŽÙ? ÙŽÙ‘ الْغُلَامَ إِذَا وُلِدَ فِÙ? الْقَمَرِ فَسَخَتْ قُلْفَتُهُ Ø£ÙŽÙ? ِ اتَّسَعَتْ فَصَارَ كَالْمَخْتُوÙ? ِ وَقَدِ اسْتَحَبَّ الْعُلَمَاءُ مِÙ? ÙŽ الشَّافِعِÙ? َّةِ فِÙ? Ù…ÙŽÙ? Ù’ وُلِدَ مَخْتُوÙ? ًا Ø£ÙŽÙ? Ù’ Ù? َمُرَّ بِالْمُوسَى عَلَى مَوْضِعِ الْخِتَاÙ? ِ مِÙ? Ù’ غَÙ? ْرِ قَطْعٍ قَالَ أَبُو شَامَةَ وَغَالِبُ Ù…ÙŽÙ? Ù’ Ù? ُولَدُ كَذلِكَ لَا Ù? َكُوÙ? ُ خِتَاÙ? ُهُ تَامًّا بَلْ Ù? َظْهَرُ طَرَفُ الْحَشَفَةِ فَإِÙ? Ù’ كَاÙ? ÙŽ كَذلِكَ وَجَبَ تَكْمِÙ? لُهُ وَأَفَادَ الشَّÙ? ْخُ أَبُو عَبْدِ اللهِ بْÙ? ُ الْحَاجِّ فِÙ? الْمَدْخَلِ Ø£ÙŽÙ? َّهُ اخْتُلِفَ فِÙ? الÙ? ِّسَاءِ هَلْ Ù? ُخْفَضْÙ? ÙŽ عُمُومًا أَوْ Ù? ُفْرَقُ بَÙ? Ù’Ù? ÙŽ Ù? ِسَاءِ الْمَشْرِقِ فَÙ? ُخْفَضْÙ? ÙŽ ÙˆÙŽÙ? ِسَاءُ الْمَغْرِبِ فَلَا Ù? ُخْفَضْÙ? ÙŽ لِعَدَمِ الْفَضْلَةِ الْمَشْرُوعِ قَطْعُهَا مِÙ? ْهُÙ? ÙŽÙ‘ بِخِلَافِ Ù? ِسَاءِ الْمَشْرِقِ قَالَ فَمَÙ? Ù’ قَالَ Ø£ÙŽÙ? ÙŽÙ‘ Ù…ÙŽÙ? Ù’ وُلِدَ مَخْتُوÙ? ًا اسْتُحِبَّ إِمْرَارَ الْمُوسَى عَلَى الْمَوْضِعِ امْتِثَالًا لِلْأَمْرِ قَالَ فِÙ? حَقِّ الْمَرْأَةِ كَذلِكَ ÙˆÙŽÙ…ÙŽÙ? Ù’ لَا فَلَا وَقَدْ ذَهَبَ إِلَى وُجُوبِ الْخِتَاÙ? ِ دُوÙ? ÙŽ بَاقِÙ? الْخِصَالِ الْخَمْسِ الْمَذْكُورَةِ فِÙ? الْبَابِ الشَّافِعِÙ? ُّ وَجُمْهُورِ أَصْحَابِهِ وَقَالَ بِهِ مِÙ? ÙŽ الْقُدَمَاءِ عَطَاءُ حَتَّى قَالَ لَوْ أَسْلَمَ الْكَبِÙ? رُ لَمْ Ù? َتِمَّ إِسْلَامُهُ حَتَّى Ù? َخْتِÙ? ÙŽ وَعَÙ? Ù’ أَحْمَدَ وَبَعْضِ الْمَالِكِÙ? َّةِ Ù? َجِبُ وَعَÙ? Ù’ أَبِÙ? Ø­ÙŽÙ? ِÙ? فَةَ وَاجِبٌ ÙˆÙŽÙ„ÙŽÙ? ْسَ بِفَرْضٍ وَعَÙ? ْهُ سُÙ? َّةٌ Ù? َأْثَمُ بِتَرْكِهِ وَفِÙ? وَجْهٍ لِلشَّافِعِÙ? َّةِ لَا Ù? َجِبُ فِÙ? حَقِّ الÙ? ِّسَاءِ وَهُوَ الَّذِÙ? أَوْرَدَهُ صَاحِبُ الْمُغْÙ? ِÙ?

“Fithrah itu ada lima, atau lima macam yang termasuk fitrah, yaitu khitan, mencukur rambut yang tumbuh di sekitar kemaluan, mencabut bulu ketiak, memotong kuku, dan mencukur kumis.” (HR. Bukhari, dari Abu Hurairah)

Al-Mawardi berkata: “Mengkhitan perempuan yaitu memotong kulit yang ada di bagian atas vagina, yaitu tempat masuknya alat kelamin pria yang berbentuk seperti biji atau seperti jengger ayam jantan. Bagian yang wajib dipotong adalah kulit yang timbul ke atas, bukan memotongnya habis. Abu Dawud telah meriwayatkan hadits Ummu ‘Athiyah: “Sungguh seorang perempuan akan berkhitan di Madinah, lalu Nabi Saw. bersabda padanya: “Jangan engkau potong habis, sebab hal itu lebih baik bagi seorang perempuan.” Lalu Abu Dawud berkata: “Hadits itu bukan hadits kuat.” Saya (Ibn Hajar al-‘Asqalani) berpendapat, hadits itu punya dua syahid (penguat) dari hadits Anas dan hadits Ummu Aiman. Lalu dari hadits Abu al-Syaikh dalam Kitab al-‘Aqiqah, hadits lain dari al-Dhahak bin Qais dalam riwayat al-Baihaqi. Al-Nawawi berkata: “Khitan laki-laki disebut dengan istilah i’dzar dengan dzal ? yang dititik satu, sementara khitan perempuan disebut khafzh dengan kha’ dan zha’ yang dititik satu. Sedangkan Abu Syamah menyatakan bahwa pendapat ahli bahasa memutuskan keduanya disebut i’dzar, dan khafzh dikhususkan bagi perempuan. Abu ‘Ubaidah berkata: “Perempuan dan laki-laki beri’dzar (berkhitan). Saya mengi’dzar mereka berdua, maksudnya khatantuhuma (saya mengkhitan keduanya) dan akhtantuhuma (saya mengkhitan keduanya), dalam wazan dan maknanya. Al-Jauhari berkata: “Mayoritas diucapkan khafzhat al-jariyah (seorang perempuan berkhitan.)” Ia berkata: “Orang Arab menyangka bahwa seorang anak laki-laki ketika lahir pada saat muncul bintang qamar, qulfah (kulit ujung penis)nya melebar, sehingga seperti sudah dikhitan.” Ulama Syafi’iyah menghukumi orang yang lahir dalam keadaan sudah terkhitan sunnah menjalankan pisau di bagian khitan tanpa memotongnya. Abu Syamah berkata: “Mayoritas anak yang lahir dalam keadaan begitu, khitannya tidak sempurna, hanya ujung penis yang terlihat. Bila begitu, maka ia wajib menyempurnakan khitannya. Dalam kitab al-Madkhal Syaikh Abu Abdillah bin al-Hajj menyampaikan, hukum khitan perempuan masih diperselisihkan. Apakah mereka semua dikhitan atau dibedakan antara perempuan timur dikhitan dan perempuan barat tidak, sebab tidak adanya sisa bagian yang disyariatkan dipotong di vagina mereka, berbeda dengan wanita timur. Ia berkata: “Ulama yang punya pendapat seorang anak laki-laki yang lahir dalam keadaan terkhitan sunnah menjalankan pisau di tempat khitannya karena mematuhi perintah syari’ah, berpendapat begitu pula bagi seorang anak perempuan. Dan ulama yang tidak berpendapat begitu, maka tidak menghukumi sunnah menjalankan pisau di tempat khitan seorang perempuan.” Al-Syafi’i dan mayoritas Ashhabnya berpendapat atas kewajiban khitan, bukan keempat fithrah lainnya yang disebutkan dalam hadits bab ini. Dari Ahmad dan sebagian ulama Malikiyah diriwayatkan menghukumi wajib. Dari Abu Hanifah menghukumi wajib namun bukan fardhu. Diriwayatkan pula darinya, hukum khitan itu sunnah yang berdosa bila ditinggalkan. Pada satu pendapat ashhab Syafi’iyah dinyatakan bahwa khitan tidak wajib bagi perempuan. Pendapat ini disampaikan -pula- oleh penulis kitab al-Mughni.

Begtiu pula keterangan dalam Shahih Muslim bi Syarh al-Nawawi

الْفِطْرَةُ خَمْسٌ الخِتَاÙ? ُ وَالاسْتِحْدَادُ وَقَصُّ الشَّارِبِ وَتَقْلِÙ? مُ اْلأَظْفَارِ ÙˆÙŽÙ? َتْفُ اْلإِبِطِ (رَوَاهُ مُسْلِمٌ عَÙ? Ù’ أَبِÙ? هُرَÙ? ْرَةَ رَضِÙ? ÙŽ اللهُ عَÙ? ْهُ)

قَوْلُهُ (الْفِطْرَةُ خَمْسٌ) ثُمَّ فَسَّرَ r الْخَمْسَ فَقَالَ الخِتَاÙ? ُ وَالاِسْتِحْدَادُ وَتَقْلِÙ? مُ اْلأَظْفَارِ ÙˆÙŽÙ? َتْفُ اْلإِبِطِ وَقَصُّ الشَّارِبِ وَفِÙ? الْحَدِÙ? ثِ الْآخَرِ (عَشْرٌ مِÙ? ÙŽ الْفِطْرَةِ قَصُّ الشَّارِبِ وَإِعْفَاءُ اللِّحْÙ? َةِ وَالسِّوَاكِ وَاسْتِÙ? ْشَاقِ الْمَاءِ وَقَصِّ الْأَظْفَارِ وَغَسْلِ الْبَرَاجِمِ ÙˆÙŽÙ? َتْفِ الْإِبْطِ وَحَلْقِ الْعَاÙ? َةِ وَاÙ? ْتِقَاصِ الْمَاءِ قَالَ مَصْعَبٌ ÙˆÙŽÙ? ُسِÙ? َتِ الْعَاشِرَةُ إِلَّا Ø£ÙŽÙ? Ù’ تَكُوÙ? ÙŽ الْمَضْمَضَةُ) أَمَّا قَوْلُهُ r (الْفِطْرَةُ خَمْسٌ) فَمَعْÙ? َاهُ خَمْسٌ مِÙ? ÙŽ الْفِطْرَةِ كَمَا فِÙ? الرِّوَاÙ? َةِ الْأُخْرَى (عَشْرٌ مِÙ? ÙŽ الْفِطْرَةِ) ÙˆÙŽÙ„ÙŽÙ? ْسَتْ مُÙ? ْحَصِرَةً فِÙ? الْعَشْرِ وَقَدْ أَشَارَ r إِلَى عَدَمِ اÙ? ْحِصَارِهَا فِÙ? هَا بِقَوْلِهِ مِÙ? ÙŽ الْفِطْرَةِ وَاللهُ أَعْلَمُ وَأَمَّا الْفِطْرَةُ فَقَدِ اخْتَلَفَ فِÙ? الْمُرَادِ بِهَا هُÙ? َا فَقَالَ أَبُو سُلَÙ? ْمَاÙ? ÙŽ الْخَطَّابِÙ? ُّ ذَهَبَ أَكْثَرُ الْعُلَمَاءِ إِلَى Ø£ÙŽÙ? َّهَا السُّÙ? َّةُ وَكَذَا ذَكَرَهُ جَمَاعَةٌ غَÙ? ْرُ الْخَطَّابِÙ? ِّ قَالُوا وَمَعْÙ? َاهُ Ø£ÙŽÙ? َّهَا مِÙ? Ù’ سُÙ? ÙŽÙ? ِ الْأَÙ? ْبِÙ? َاءِ صَلَوَاتُ اللهِ وَسَلَامُهُ عَلَÙ? ْهِمْ وَقِÙ? ْلَ هِÙ? ÙŽ الدِّÙ? Ù? ُ ثُمَّ إِÙ? ÙŽÙ‘ مُعْظَمَ هذِهِ الْخِصَالِ Ù„ÙŽÙ? ْسَتْ بِوَاجِبَةٍ عِÙ? ْدَ الْعُلَمَاءِ وَفِÙ? بَعْضِهَا خِلَافٌ فِÙ? وُجُوبِهِ كَالْخِتَاÙ? ِ وَالْمَضْمَضَةِ وَالاسْتِÙ? ْشَاقِ وَلَا Ù? َمْتَÙ? ِعُ قَرْÙ? ُ الْوَاجِبِ بِغَÙ? ْرِهِ كَمَا قَالَ اللهُ تَعَالَى كُلُوا مِÙ? Ù’ ثَمَرِهِ إِذَا أَثْمَرَ وَآتُوا حَقَّهُ Ù? َوْمَ حَصَادِهِ وَالْإِÙ? تَاءُ وَاجِبٌ وَالْأَكْلُ Ù„ÙŽÙ? ْسَ بِوَاجِبٍ وَاللهُ أَعْلَمُ أَمَّا تَفْصِÙ? لُهَا (فَالْخِتَاÙ? ُ) وَاجِبٌ عِÙ? ْدَ الشَّافِعِÙ? ِّ وَكَثِÙ? رٌ مِÙ? ÙŽ الْعُلَمَاءِ وَسُÙ? َّةٌ عِÙ? ْدَ مَالِكٍ وَأَكْثَرُ الْعُلَمَاءِ وَهُوَ عِÙ? ْدَ الشَّافِعِÙ? ِّ وَاجِبٌ عَلَى الرِّجَالِ وَالÙ? ِّسَاءِ جَمِÙ? عًا ثُمَّ إِÙ? ÙŽÙ‘ الْوَاجِبَ فِÙ? الرَّجُلِ Ø£ÙŽÙ? Ù’ Ù? َقْطَعَ جَمِÙ? عَ الْجِلْدَةِ الَّتِÙ? تُغْطِÙ? الْحَشَفَةَ حَتَّى Ù? ÙŽÙ? ْكَشِفَ جَمِÙ? عَ الْحَشَفَةِ وَفِÙ? الْمَرْأَةِ Ù? َجِبُ قَطْعُ أَدْÙ? ÙŽÙ‰ جُزْءٍ مِÙ? ÙŽ الْجِلْدَةِ الَّتِÙ? فِÙ? أَعْلَى الْفَرْجِ وَالصَّحِÙ? حُ مِÙ? Ù’ مَذْهَبِÙ? َا الَّذِÙ? عَلَÙ? ْهِ جُمْهÙDari Nu Online: nu.or.id

PKB Kab Tegal Meme Islam, AlaSantri PKB Kab Tegal