Praktik diplomasi sudah menjadi bagian dari politik Islam sejak berabad-abad silam. Banyak cendekiawan yang dilibatkan dalam menjalin hubungan dengan bangsa dan peradaban lain. Pemerintahan Islam di abad pertengahan banyak mengirim diplomatnya, selain untuk menjaga pertemanan, juga untuk mewujudkan perdamaian. Terdapat dua karakteristik diplomasi yang dipraktikkan umat Islam. Pertama, pada masa awal Islam, tujuan religius menjadi fokus utama. Diplomasi adalah untuk mengajak kaum di luar Islam untuk memeluk Islam, beriman kepada Allah Swt dan Rasul-Nya. Sedangkan karakteristik kedua, lebih bersifat politis. Pada masa pemerintahan Islam banyak ekspedisi dan perluasan wilayah.
Islam Nusantara sebagai Media Diplomasi (Sumber Gambar : Nu Online) |
Islam Nusantara sebagai Media Diplomasi
Terkait sistem diplomasi, secara sederhana sudah dimulai pada fase Makkiyah. yakni pada masa dakwah, dimana Rasulullah Saw mengirim Utsman bin Affan ke penguasa negeri Habasyah untuk meminta jaminan keselamatan bagi kaum Muslimin. Begitu pula ketika pengiriman Mushab bin Umair sebagai diplomat sekaligus juru dakwah pertama bagi warga Yatsrib yang telah berbaiat kepada Rasulullah Saw. Dalam perkembangannya, sistem diplomasi disempurnakan ketika kaum Muslimin memiliki pemerintahan di Madinah.Sebagai negara dengan mayoritas muslim, Indonesia juga mempunyai sebuah tanggung jawab untuk berperan di dalam dunia Islam, karena selain itu merupakan sebuah usaha dalam menjalin kedekatan dengan dunia Islam, hal itu juga sebagai bagian dari pengamalan amanat pembukaan UUD 1945’ yang merupakan konstitusi dasar negara, yaitu untuk turut serta menjaga perdamaian dunia, dan terakhir peran Indonesia dalam dunia Islam juga sesuai dengan semboyan diplomasi Indonesia di dalam dunia internasional, yaitu bebas aktif.
PKB Kab Tegal
Indonesia senantiasa menjadi role model bagi dunia Islam di dalam penerapan demokrasi, terlepas dari segala pasang surut yang terjadi dalam perpolitikan dalam negeri, Indonesia tetap dianggap sebagai negara dengan mayoritas muslim yang berhasil di dalam menerapkan demokrasi dengan terlaksananya pemilu yang berlangsung secara luas, adil, jujur, dan rahasia. Selain itu Indonesia juga dianggap sebagai bridge builder antara dunia Islam dengan dunia Barat. Kedekatan Indonesia dengan dunia Barat dikarenakan prestasi Indonesia di dalam pengembangan demokrasi, menjadi sebuah modal penting bagi Indonesia untuk dekat dengan dunia Barat, bahkan untuk meraih simpati dari dunia Barat yang selama ini selalu giat mengumandakangkan demokratisasi dunia, terlebih pasca perang dingin.Posisi Indonesia sebagai bridge builder antara dunia Barat dengan dunia Islam juga menjadi harapan baru bagi terciptanya perdamaian di dunia, yang selama ini selalu berhenti pada titik politis antara dua dunia yang menjadi episentrum di dunia pasca perang dingin yaitu dunia Islam dan dunia Barat. Kedua dunia ini seakan penuh prasangka dalam setiap usaha dari salah satu dunia yang berupaya memasuki dunia yang lainnya, prasangka itu dapat bersifat apa saja, dan yang paling meruncing yaitu dalam prasangka politis dan teologis. Dalam prasangka-prasangka itulah kedua dunia ini seakan menjadi dua kutub baru di dunia yang senantiasa berbenturan dan menghambat usaha-usaha perdamaian di dunia.
PKB Kab Tegal
Adapun Organisasi Konferensi Islam (OKI) merupakan suatu sarana? yang digunakan Indonesia untuk mengumandangkan semangat toleransi dan keharmonisan serta demokrasi yang utuh di dalam dunia Islam. Peran Indonesia dalam OKI tersebut telah tampak dengan nyata usaha diplomasi Indonesia dalam dunia Islam yang tetap bebas dan aktif, bebas karena tidak terikat di dalam suatu blok tertentu, dan aktif dalam mengusahakan segala kestabilan dan keharmonisan, serta perdamaian dunia, baik di dalam dunia Islam maupun dunia Barat. Karena pada dasarnya dunia ini bukan merupakan sebuah ladang jajahan yang membebaskan setiap bangsa untuk saling menjajah antara satu dengan yang lainnya, di sisi lain dunia ini merupakan sebuah ladang keharmonisan yang membebaskan setiap bangsa untuk hidup berdampingan dengan damai, sesuai dengan amanat UUD 1945 yang merupakan konstitusi dasar Indonesia yang menyatakan bahwa kemerdakaan adalah hak setiap bangsa, dan segala bentuk penjajahan di atas dunia haruslah dihapuskan karena hal itu jelas telah melanggar prikemanusiaan dan prikeadilan.Dewasa ini dunia menghadapi konflik perang saudara atas nama ras dan bahkan agama. Akibatnya tidak hanya mengganggu stabilitas negara yang bersangkutan tetapi juga negara di sekitarnya atau negara yang terlibat di dalamnya. Contoh dalam hal ini adalah konflik Suriah, Yaman, Palestina, Mesir, Sudan dan negara-negara Muslim lain yang bisa dikatakan belum aman. Tidak bisa dipungkiri bahwa sebab utama adalah dangkalnya pemahaman tentang Islam atau agama yang dianutnya. Kedangkalan ini kemudian menjadi doktrin untuk melakukan kekerasan atas nama agama walaupun sebenarnya hanya alibi kepentingan politik.
Kekerasan atas nama agama adalah kekerasan kolektif atau kekerasan massa. Kekerasan tersebut menjadi bagian dari aksi massa yang terjadi di banyak tempat di sepanjang sejarah kehidupan manusia. Pada zaman kekaisaran Nero, umat Kristiani mendapat pengejaran dan penyiksaan yang begitu hebat; di Jerman, penguasa Nazi membantai jutaan orang Yahudi; Di Indonesia, sejarah kekerasan banyak dicatat dan tidak sedikit yang melibatkan agama di dalamnya: konflik Ambon, Poso, penutupan dan pemboman gereja oleh kelompok-kelompok fundamentalisme dan lain sebagainya.
Satu pendekatan terhadap kohesi sosial dan agama mengatakan bahwa agama merupakan ekspresi dari kekuatan dan ideal sosial. Cara pandang ini menunjukkan bahwa di mana ada kohesi sosial, pasti diungkapkan secara religius. Durkheim mengatakan bahwa esensi agama adalah esensi sosialnya. Ritus atau ritual keagamaan adalah perilaku kolektif yang menghubungkan individu pada kelompok sosial tertentu, yakni agama tertentu. Dan, keyakinan agama adalah representasi kolektif yang mengungkapkan sesuatu yang bernilai tentang kelompok tersebut. Kelompok agama memberikan rasa aman bagi orang-orang yang berlindung di dalamnya. Jika di Amerika agama menjadi tempat atau sumber penting bagi para imigran. Sedangkan di tempat lain agama menjadi tempat yang aman untuk berlindung mengatasi rasa panik yang merupakan sifat naluriah manusia. Dalam arti inilah kemudian agama disebut sebagai proyeksi kesadaran kolektif.
Agama merupakan panduan moralitas manusia dalam menjalankan aktivitas sehari-hari untuk menemukan nilai-nilai kemanusiaannya. Dengan adanya kesadaran beragama, manusia akan memiliki kesadaran tentang betapa pentingnya kehadiran manusia lain. Manusia lain tersebut tentu memiliki berbagai perbedaan dan keunikan tersendiri. Mulai dari suku, agama, ras, maupun golongan. Perlu adanya sebuah kesadaran untuk menyikapi perbedaan-perbedaan tersebut.
Semua ajaran agama pada dasarnya baik dan mengajak kepada kebaikan. Namun nyatanya tidak semua yang dianggap baik itu bisa bertemu dan seiring sejalan. Bahkan, sekali waktu dapat terjadi pertentangan antara yang satu dengan yang lain. Alasannya tentu bermacam-macam. Misalnya, tidak mesti yang dianggap baik itu benar. Juga, apa yang benar menurut manusia belum tentu dibenarkan oleh Tuhan dan alasan lain yang dapat dimunculkan.
Perbedaan memang menjadi sesuatu yang tidak dapat dihindari di dunia bahkan di negeri ini. Para founding fathers secara tepat merumuskan bentuk negara ini bukan menjadi negara agama atau negara sekuler yang tentunya akan menimbulkan berbagai konflik. Pilihan untuk menjadi negara non-agama memberikan dasar-dasar yang kuat bagi bangsa ini untuk bersikap toleran, menghargai kepelbagaian, dan menjunjung tinggi kemerdekaan. Rumusan para founding fathers menjadi sebuah kecermatan dan kecerdasan yang digunakan untuk dapat memenuhi kebutuhan bersama akan adanya sebuah ketenteraman dalam bermasyarakat.
Kerukunan umat beragama di Indonesia dewasa ini sedikit terusik karena insiden-insiden mengatasnamakan agama. Kedewasaan umat beragama dinilai sebagai salah satu kunci menghapus konflik yang ada. Kepentingan politik dan ekonomi pribadi atau kelompok di suatu daerah, sering kali menjadi penyebab utama yang tentu saja ditutupi dengan bingkai agama dengan sangat rapi. Namun, perlu disadari juga bahwa faktor kekerasan agama tidak hanya dipicu oleh faktor eksternal seperti kepentingan politik, ekonomi dan sosial.? Faktor internal juga dapat memberikan kontribusi yang besar. Masalah interpretasi atau penafsiran merupakan salah satu masalah utama yang bisa mendorong umat beragama melakukan tindak kekerasan.
Di Indonesia pada saat ini kita sedang berhadapan dengan gerakan Islam fundamentalis yang berusaha untuk mendirikan negara Islam. Sudah terbukti bahwa itu merupakan salah satu sumber terbesar kekerasan agama yang terjadi di negara kita. Bukan hanya gereja atau kelompok agama lain yang dianggap sebagai musuh melainkan juga kelompok Islam lainnya yang tidak setuju dengan ide negara Islam tersebut. Akibatnya negara kita mengalami penderitaan yang sangat dalam. Muncul kecurigaan antara pemeluk agama dan memicu terbentuknya semangat separatis.
Dalam realitas negara kita sekarang ini, terorisme adalah bentuk paling nyata dari kekerasan politik-agama di Indonesia. Dalam konteks teologis, terorisme bisa mengambil bentuknya dari agama sebagai landasan dan alat untuk mendapatkan kekuasaan, sebagai tujuan dari teror tersebut.
Kejadian-kejadian dan aksi-aksi terorisme yang tengah menimpa manusia, khususnya di Indonesia ini sangatlah banyak dan beraneka ragam sesuai dengan kondisi dan keadaan yang diharapkan oleh para pelakunya guna meraih sasaran dan target mereka. Secara singkat, bentuk-bentuk aksi terorisme dapat dibagi ke dalam tiga macam golongan :
Pertama, terorisme fisik. Yaitu peristiwa-peristiwa atau bentuk terorisme yang sekarang menjadi puncak sorotan manusia seperti peledakan, bom bunuh diri, pembajakan, dan seterusnya. Berbagai kejadian pahit dari terorisme fisik ini telah telah tercatat dalam sejarah. Seperti di Indonesia seperti Bom Bali 1, Bom Bali 2, Bom Kedutaan Australia di Jakarta, Bom Marriot 1, Bom Marriot 2.
Kedua, terorisme psikologis (kejiwaan). Yaitu suatu bentuk-bentuk terorisme yang berupa suatu ancaman psikologis terhadap suatu subjek atau objek tertentu, seperti misalkan berupa teror ancaman bom melalui media tertentu seperti telepon, pesan singkat, surat, email, artikel blog, website, yang bertujuan untuk menimbulkan kepanikan. Seperti yang terjadi pada teror gereja pada malam natal, teror gedung kedutaan AS dan beberapa negara lain.
Ketiga, terorisme ideologi (pemikiran/pemahaman). Terorisme jenis ini jauh lebih berbahaya dari terorisme fisik dan psikologi. Sebab seluruh bentuk terorisme fisik yang terjadi bersumber dari dorongan ideologi para pelakunya, baik itu dari kalangan orang-orang tidak beragama yang merupakan sumber terorisme di muka bumi ini, atau dari kalangan kaum? beragama yang telah menyimpang pemikirannya dari jalan ajaran mereka, khususnya dalam hal ini kaum muslimin yang telah menyimpang dari ajaran Islam yang sesungguhnya.
Bentuk-bentuk terorisme ini pada dasarnya sangat saling berkaitan, dimana apabila seseorang atau suatu komunitas bahkan masyarakat telah terjangkiti suatu paham yang salah atau yang berupa terorisme ideologi maka dia akan condong untuk segera melakukan tindakan terorisme fisik maupun psikologi, yang berupa bom bunuh diri, pembajakan, teror, yang merupakan manifestasi dari terorisme ideologi.
Fakta bahwa konflik yang terjadi sungguh memprihatinkan terjadi di negara kita. Mengapa bisa terjadi konflik seperti ini, sementara setiap agama mengajarkan kebaikan dan kebenaran. Disayangkan pula bahwa Undang-undang Dasar telah menjamin kebebasan memeluk dan melaksanakan ajaran agama bagi seluruh rakyat Indonesia. Tetapi mengapa masih ada konflik antar agama? Dimana letak permasalahannya? Apakah agama tidak mampu memberikan penyadaran dan mengajarkan kebenaran yang sesungguhnya kepada para penganutnya? Ataukah hukum negara kita terlalu lemah?
Bila kita mengatakan bahwa agama sebagai sumber kekerasan atau sumber konflik agaknya merupakan sebuah paradoks, karena pesan inti agama adalah perdamaian. Tapi, menolak keterkaitan itu sama sekali juga merupakan perbuatan naif, karena kita jelas-jelas melihat banyaknya fenomena pembunuhan, terorisme, dan perusakan yang mengatasnamakan kebenaran agama.Seakan-akan kita terlalu menyederhanakan masalah jika langsung mengatakan bahwa konflik yang terjadi didasari oleh permasalahan tentang kebenaran agama. Tetapi jika kita jujur menilainya, akan tiba pada kesimpulan bahwa konflik antar pemeluk agama disebabkan karena masing-masing pemeluk agama terlalu berpegang pada kebenaran agamanya. Masing-masing merasa bahwa apa yang diyakininya yang paling benar sementara yang diyakini orang lain tidak benar. Padahal orang lain juga ternyata sudah memiliki kebenaran yang diyakininya sendiri dalam bentuk iman dan kepercayaannya pada salah satu agama.
Agama menimbulkan sebuah stratifikasi sosial dengan adanya proses pemahaman agama. Muncul pemegang otoritas teologis disatu sisi dan pengikut disis lain. Para pemimpin dalam berbagai agama secara eksklusif berperan sebagai penafsir tunggal terhadap ayat-ayat Tuhan maupun fenomena-fenomena yang muncul pada masyarakat. Kelompok pengikut diwajibkan untuk mengikuti apa yang telah diperintahkan oleh kaum pemimpin agama. Stratifikasi sosial yang terwujud dalam beragama juga berpeluang menimbulkan sebuah konflik. Interpretasi yang dimunculkan oleh para pemimpin agama diyakini oleh pengikut-pengikutnya sebagai kebenaran mutlak. Interpretassi yang berbeda-beda akhirnya melahirkan bermacam-macam kelompok eksklusif dalam agama tertentu. Hal tersebut mengakibatkan para pengikut mudah terombang-ambing di antara kebenaran interpretasi yang dimunculkan oleh para pemimpin agama. Akhirnya, masyarakat seakan kehilangan haknya untuk menentukan kebenaran sendiri.
Eksklusifitas dari para pemimpin maupun pengikut agama juga ditujukan untuk agama lain. Hal ini tentu juga berpotensi memunculkan sebuah konflik. Sebagai contoh, hal tersebut terjadi pada agama Yahudi. Bagi mereka tidak ada nabi setelah Nabi Musa. Nabi Isa maupun Muhammad Saw hanya dianggap sebagai tokoh sejarah dan bukan tokoh spiritual. Hal tersebut tentu menimbulkan permusuhan antaragama.
Berbagai masalah agama yang berpotensi menimbulkan konflik membutuhkan berbagai solusi untuk mengatasinya. Salah satu diantaranya adalah kita harus senantiasa mengembangkan sikap toleransi antar penganut agama. Penyelesaian konflik harus dimulai dari individu beragama tersebut. Harus ada sebuah kesadaran bahwa setiap agama memiliki teks dan ajaran yang terkadang tafsirnya masih ambigu, yang berakibat pada praktik dan keyakinan beragama yang berbeda. Membangun kehidupan bermasyarakat tanpa memandang adanya perbedaan agama merupakan modal yang sangat positif untuk menciptakan adanya sebuah perdamaian.
Dialog juga diperlukan dalam kehidupan sehari-hari. Dialog bukan ditujukan untuk mempersamakan satu agama dengan agama yang lain. Diadakannya dialog ditujukan untuk mendapatkan suatu titik temu yang dimungkinkan secara teologis oleh agama yang kita anut. Dalam memahami agama lain hendaknya kita bersikap melihat fenomena dengan apa adanya. Suatu dialog dilakukan dengan perasaan rendah hati untuk membandingkan konsep-konsep agama lain. Diharapkan suatu keharmonisan dapat diciptakan dengan adanya dialog tersebut.
Oleh karena itu untuk mencapai dialog yang sesungguhnya, Panikkar telah memberikan beberapa aturan main dalam berdialog, yaitu : (1) harus bebas dari apologi khusus, artinya untuk berdialog, para peserta harus terbebas dari gagasan apriori; (2) harus bebas dari apologi umum yaitu pertobatan. Dialog tujuannya bukanlah untuk menobatkan orang lain tetapi dialog memang adalah suatu kebutuhan yang harus dilakukan berhadapan dengan pluralitas iman; (3) berani menghadapi tantangan pertobatan. Artinya dalam dialog, seorang harus berani mengambil risiko: kehilangan hidupnya atau dilahirkan kembali. Panikkar menganalogikannya dengan peziarah yang membuat jalannya sendiri yang? belum terpetakan. Jalan yang di depannya masih perawan, belum dijamah. Peziarah itu pasti akan sangat senang karena melihat dua hal: indahnya penemuan pribadinya dan dalamnya harta abadi yang diperolehnya tetapi sekaligus dia? harus berani menghadapi setiap kemungkinan yang akan dialaminya; (4) dimensi historis penting tetapi tidak mencukupi. Dialog sebaiknya tidak berhenti hanya pada perjumpaan para ahli, tetapi dialog harus hidup, dan harus menjadi medan untuk pemikiran kreatif dan jalan-jalan baru yang imajinatif, yang tidak memutuskan hubungan dengan masa lampau melainkan meneruskan dan mengembangkannya; (5) bukan sekedar kongres filsafat. Dialog bukanlah sekedar pertemuan para filsuf untuk membicarakan masalah-masalah intelektual mengenai agama; (6) bukan sekedar symposium teologis. Dialog bukanlah sekedar usaha untuk membuat orang lain mengerti maksud saya; (7) bukan sekedar ambisi pemuka agama. Dialog tidak hanya keinginan pemuka agama semata, tetapi harus sampai pada penganut-penganutnya; (8) perjumpaan agama dalam iman, harapan dan kasih. Sikap iman yang dimaksudkan adalah melampaui data sederhana dan juga perumusan dogmatis dari pengakuan yang berbeda-beda.
Dengan harapan agar sikap dialog melampaui segala harapan, dapat melompati tidak hanya hambatan awal kemanusiaan, kelemahan dan keterikatan-keterikatan yang tidak disadari tetapi juga melompati segala bentuk pandangan yang semata-mata duniawi, dan memasuki jantung dialog, seolah-olah didesak dari atas untuk menjalankan tugas yang suci. Dengan cinta yang dimaksudkan adalah gerak hati, kekuatan yang mendorong untuk sampai pada sesama dan yang membimbing untuk menemukan di dalam mereka apa yang kurang dalam diri kita.
Sebagai bahan refleksi bagi kita semua, sudah sejauh mana kita menempatkan dan memposisikan ideologi agama kita berhadapan dengan umat beragama lain? Sanggupkah kita dengan rendah hati meletakkan (untuk sementara) keyakinan akan kebenaran agama kita untuk duduk bersama-sama berdialog dengan agama lain? Mampukah kita melihat pluralitas itu bukan saja sebagai masalah, tetapi suatu berkat?
Mampukah kita menerima persamaan dan perbedaan dengan serius dan tulus? Dan mampukah kita menjadikan perjumpaan pribadi kita dengan orang yang beragama lain itu sebagai suatu tindakan harapan untuk mencapai transformasi diri? Dialog yang sesungguhnya tidak akan melunturkan iman kita tetapi justru akan saling menguatkan.
Segala bentuk kekerasan atas nama agama merupakan suatu hal yang tidak bisa diterima oleh pihak manapun. Karena jika kita melihat pada bentuk dan substansi agama, maka tidak ada satupun agama di dunia ini yang mengajarkan manusia untuk berbuat anarki dan kekerasan terhadap manusia lainnya. Terlebih-lebih jika perbuatan kekerasan tersebut dilakukan atas nama suatu agama tertentu. Justru sebaliknya, semua agama di dunia ini mengajarkan kasih sayang, toleransi, cinta damai, saling mengasihi antar sesama manusia lainnya. Sehingga secara otomatis segala bentuk tindakan kekerasan dilarang oleh semua agama.
Islam adalah agama yang universal, sempurna, dinamis, dan selalu dapat menyesuaikan dengan situasi dan kondisi. Islam dikenal sebagai salah satu agama yang akomodatif terhadap tradisi lokal dan ikhtil?f ulama dalam memahami ajaran agamanya. Islam dibawa oleh Nabi Muhammad Saw, kepada seluruh manusia dalam segala aspek kehidupan, termasuk dalam bidang sosial politik. Beliau membebaskan manusia dari kegelapan peradaban menuju cahaya keimanan. Universalisme Islam yang dimaksud adalah bahwa risalah Islam ditujukan untuk semua umat, segenap ras dan bangsa serta untuk semua lapisan masyarakat (al-Islam Shalih li Kulli Zaman wa Makan). Ia bukan risalah untuk bangsa tertentu yang beranggapan bahwa mereka bangsa yang terpilih, dan karenanya semua manusia harus tunduk kepadanya. Risalah Islam adalah hidayah dan rahmat Allah untuk segenap manusia.
Dalam proses Islamisasi di Nusantara, penyebaran agama dan kebudayaan Islam tidak menghilangkan kebudayaan lokal dan tidak menggunakan kekuatan militer dalam upaya proses Islamisasi. Hal itu disebabkan karena proses Islamisasi dilakukan secara damai melalui jalur perdagangan, kesenian, dan perkawinan dan pendidikan. Islamisasi juga terjadi melalui proses politik, khususnya pada pemikiran politik Soekarno yang membuka lebar bagi golongan Islam untuk mengislamkan negara dengan wilayah pengaruh yang relatif besar.
Konsep Islam Nusantara belakangan nyaring digaungkan. Di mana konsep tersebut merupakan Islam khas ala Indonesia yang merupakan gabungan nilai Islam teologis dengan nilai-nilai tradisi lokal, budaya, dan adat istiadat di Tanah Air. Istilah Islam Nusantara agaknya ganjil didengar, sama dengan Islam Malaysia, Islam Saudi, Islam Amerika, dan seterusnya, karena bukankah Islam itu satu, dibangun di atas landasan yang satu, yaitu Alquran dan Sunnah ? Memang betul, Islam itu hanya satu dan memiliki landasan yang satu, akan tetapi selain memiliki landasan Nu?u? al-Syariah (Alquran dan Sunah), Islam juga memiliki acuan Maqa?id al-Syar?ah (tujuan syariat). Maqa?d al-Syar?ah sendiri digali dari nash-nash syariah melalui sekian istiqra? (penelitian).
Azyumardi Azra, ketika menjelaskan tentang apa sesungguhnya makna terdalam dari konsep Islam Nusantara. Bagi Azra, “Islam Nusantara adalah Islam distingtif sebagai hasil interaksi, kontekstualisasi, indigenisasi dan vernakularisasi Islam universal dengan realitas sosial, budaya dan agama di Indonesia. Ortodoksi Islam Nusantara (kalam Asy’ari, fiqih mazhab Syafi’i, dan tasawuf Ghazali) menumbuhkan karakter Wasathiyah yang moderat dan toleran. Islam Nusantara yang kaya dengan warisan Islam (Islamic legacy) menjadi harapan renaisans peradaban Islam global”.
Kiai Said Aqil Siroj menegaskan bahwa Islam Nusantara bukanlah ajaran atau sekte baru dalam Islam sehingga tidak perlu dikhawatirkan. Menurut Kiai Said, konsep itu merupakan pandangan umat Islam Indonesia yang melekat dengan budaya nusantara. Ia menjelaskan, umat Islam yang berada di Indonesia sangat dekat dengan budaya di tempat mereka tinggal dan inilah yang menjadi landasan munculnya konsep Islam Nusantara.
Di saat negara-negara muslim sedang berada dalam konflik dan ketidakstabilan, Indonesia sebagai negara berpenduduk muslim terbesar menjadi rujukan dunia. Kehidupan umat Islam yang rukun dan harmonis patut menjadi percontohan tingkat dunia. Di Indonesia, yang menjadi pemersatu umat Islam sesungguhnya adalah dengan peninggalan tradisi yang telah diajarkan oleh Waliyullah, para kiai, dan para ulama seperti peringatan Isra’ Mi’raj, peringatan Maulid Nabi Muhammad Saw, dan peringatan Nuzulul Qur’an. Dalam berbagai forum tersebut para ulama melakukan pengolahan nilai-nilai spiritual semisal pembacaan tahlil, tahmid, tasbih dan istighfar.
Islam Nusantara merupakan istilah yang sering dipakai untuk mengacu pada Islam ala Indonesia yang otentik; langgamnya Nusantara, tapi isi dan liriknya Islam; bajunya Indonesia, tapi badannya Islam. Ide Islam Nusantara ini berkaitan dengan gagasan ”pribumisasi Islam” yang pernah dipopulerkan almarhum KH Abdurrahman Wahid. Penggunaan resmi nama ini di antaranya dalam Jurnal Tashwirul Afkar (Edisi No 26 Tahun 2008).
Munculnya Islam Nusantara adalah bagian dari apa yang biasanya disebut sebagai ”paradoks globalisasi”. Dalam istilah TH Erikson (2007, 14), ”Semakin orang mengglobal seringkali dia menjadi semakin terobsesi dengan keunikan budaya asalnya.” Dalam kalimat ilmuwan lain, ”Ketika dunia semakin global, perbedaan-perbedaan kecil antarumat manusia itu semakin ditonjolkan”.? Banyak yang menduga bahwa semakin kita mengenal dunia luar dan kelompok yang berbeda, kita menjadi semakin terbuka. Namun, seringkali yang terjadi tidak sejalan dengan logika itu. Di tengah globalisasi banyak orang yang semakin fanatik dan tidak menerima perbedaan serta pluralitas. Ini misalnya terjadi dalam beberapa pilkada yang ”mengharuskan” putra daerah yang dipilih.? Dalam konteks dunia, justru di era globalisasi ini hampir setiap tahun kita melihat kemunculan negara baru dalam keanggotaan PBB. Tentu saja respons terhadap globalisasi dalam bentuk ”Islam Nusantara” adalah pilihan terbaik dibandingkan dengan penolakan total atau penerimaan total.
Di tengah-tengah usaha kaum muslim seluruh dunia untuk mengabungkan tujuan dan menghilangkan perbedaan, munculnya gagasan ini bisa dipertimbangkan untuk dikembangkan. Konsep Islam Nusantara sendiri memiliki pro dan kontra ditengah-tengah masyarakat Indonesia, sehingga memerlukan waktu dan tenaga bagi kita untuk mensyi’arkan konsep ini agar masyarakat bisa menerimanya dengan menyeluruh. Selain demi kepentingan perdamaian di Indonesia juga sebagai rujukan untuk perdamaian di kancah Internasional.
Penulis adalah finalis kompetisi esai International Summit of Moderate Islamic Leaders (Isomil) PBNU
Dari Nu Online: nu.or.id
PKB Kab Tegal Kyai, Kajian PKB Kab Tegal