Tak perlulah ditanya lagi seberapa besar komitmen NU terhadap Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI). Dalam setiap forum muktamar dan Konbes/Munas Alim-ulama, komitmen ini tak pernah dibatalkan sebaliknya makin ditegaskan.
Saking cintanya Indonesia, para kiai dan kaum nahdliyin di kampung-kampung biasanya menyelipkan dalam pembukaan pengajian tahlilan atau dalam peringatan hari besar Islam, bahwa cinta tanah air adalah bagian dari keimanan seorang muslim. Habib Muhammad Lutfi, pimpinan Perkumpulan Tarikat NU kemana-mana selalu bilang: bobot kecintaan pada bangsa, tergantung kecintaan pada tanah airnya.
 |
NU, NKRI dan MP3EI: Catatan Masalah Aktual (Sumber Gambar : Nu Online) |
NU, NKRI dan MP3EI: Catatan Masalah Aktual
Meski begitu, kesetiaan pada negara tak berarti melemaskan daya kritis. NU tak pernah skeptis (ragu) pada negara yang diperlukan untuk memelihara ketertiban dan mewujudkan kesejahteran rakyat. Sering-seringnya NU menjewer atau mencubit baik secara halus, tertutup atau buka-bukaan, keras maupun lunak, mengenai ketidakbecusan pemerintah yang telah terpilih mengurus rakyatnya. Malah kalau yang terakhir ini tidak dilakukan, bisa dicurigai ada anomali, ada penyimpangan besar di dalamnya. Makanya, dalam setiap muktamar atau Konbes/Munas Alim-Ulama selalu ada pembahasan fiqh aktual untuk merespon persoalan kehidupan ekonomi dan sosial-politik nasional.
PKB Kab Tegal
Perlu diakui, amat jarang (bukan berarti tak pernah!) forum-forum resmi NU membahas/merespon satu atau lebih kebijakan yang dibuat oleh pemerintah. Biasanya dominan soal ibadah atau bab muamalah. Sebagai pengecualian –maaf, kalau keliru—hanya Konbes/Munas Alim-Ulama di Pondok Pesantren Kempek, Cirebon 2012 lalu yang menguji (secara fiqhiyyah) sejumlah kebijakan pemerintah yang menonjol yang sangat merugikan rakyat dan dianggap mengancam ketahanan sosial-ekonomi bangsa. Diantaranya: (1) masalah aset dan keuangan negara; (2) sumberdaya alam dan kekayaan negara; (3) sumberdaya air dan pangan nasional; dan (4) liberalisasi pendidikan.
Memang ini baru sebatas kajian keagamaan, dan masih perlu tindak lanjut lewat aneka upaya hukum formal dan para ahli hukum yang mensuplai argumentasi hukum sesuai mandat konstitusi. Dan rasa-rasanya bagian ini bisa diserahkan Ikatan Sarjana Nahdlatul Ulama (ISNU) yang punya sarjana hukum berlimpah atau Lembaga Bantuan Hukum di bawah NU bergandengan dengan lembaga-lembaga bantuan hukum rakyat lain yang sudah ada untuk menopang tindakan-tindakan legal yang diperlukan.
PKB Kab Tegal
Betapapun ada keterbatasan, nampaknya upaya hukum ini salah satu (!) jalan utama, setelah rakyat banyak kecolongan atas munculnya aneka kebijakan pemerintah (produk hukum dan perundangan-undangan) yang tak berpihak kepada rakyat. Mulai dari UU Migas, UU Minerba hingga soal penaikan harga gas LPG baru-baru ini. Sudah bukan rahasia lagi di negeri ini, aneka kebijakan strategis yang berpengaruh besar terhadap hajat hidup orang banyak dibuat tanpa lebih dulu konsultasi dengan rakyat. Kebijakan itu dirancang di lingkaran elit pemerintah dan dibahas bersama anggota DPR yang kita tahu konsesi-konsesi politik diantara mereka sendiri kerapkali lebih menentukan hasil akhir ketimbang aspirasi masyarakat.
Padahal konsultasi-konsultasi macam itu sebetulnya mudah saja dilakukan --jika pemerintah mau-- lewat ormas keagamaan yang sudah ada seperti PBNU, PP Muhammadiyah, PGI, Hindu dan Budha, dan masyarakat adat serta serikat buruh dan petani, dan LSM-LSM “Non-Pembangunan” (Istilah ini mungkin rancu digunakan karena keterbatasan bahasa, untuk membedakannya dengan LSM yang [di]hadir[kan] semata untuk melegitimasi kebijakan). Sayang sekali, selama ini kelompok-kelompok utama ini selalu diabaikan dan hanya diperankan sebagai “pemadam kebakaran” atau mirip aparatus “penjinak bom” saat terjadi konflik sosial, baik lewat manajemen konflik maupun kajian perdamaian (peace studies) dimana akhir-akhir ini dua bidang ini laku keras di pasar akademik.
Kita perlu menyebut salah satu kebijakan strategis tanpa konsultasi publik ini adalah MP3EI. Panjangnya: Masterplan Percepatan dan Perluasan Pembangunan Ekonomi Indonesia. Dibuat atas dasar Peraturan Presiden No. 32 Tahun 2011 (tentu saja didasarkan pada masukan dari lembaga-lembaga kerjasama multilateral-regional maupun global sebelumnya), secara pelan namun pasti ia telah diintegrasikan ke dalam Sistem Perencanaan Pembangunan Nasional melalui RPJMN (Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional) dan RKP (Rencana Kerja Pemerintah). Tiba-tiba saja kebijakan yang menyangkut hajat hidup orang banyak ini melesat seperti peluru kendali yang menentukan arah dan isi kebijakan dari pusat hingga daerah ke tingkat Satuan Kerja Perangkat Daerah (SKPD).
Kita tak pernah mendengar, misalnya PBNU dan lainnya diajak bicara, mengkaji, dan mendalami sedari awal aspek-aspek kebijakan tersebut dari sudut pandang ketahanan sosial, ekonomi dan politik jangka panjang, serentak pula segala dampaknya pada kedaulatan nasional. Padahal sangat masuk akal bila ormas dan organisasi sosial keagamaan lain dimintai pertimbangan baik menyangkut paradigma pembangunan yang diusung pemerintah maupun arah kebijakan itu bagi pemenuhan amanat konstitusi “memajukan kesejahteraan bersama dan mencerdaskan kehidupan bangsa”.
Jangan-jangan benar, seperti yang diutarakan oleh banyak pengkaji kebijakan, bahwa MP3EI mirip dengan sistem pembangunan kolonial. Yakni mengeruk kekayaan Sumber Daya Alam di daerah tertentu (satu sisi) untuk dikumpulkan di daerah lain (sisi lain). Dari luar Jawa disedot ke Jawa, (Jabodetabek) dengan memberi kemudahan yang kian besar terhadap pelaku ekonomi luar negeri dengan adanya fasilitasi liberalisasi perdagangan yang eksplisit disebutkan dalam konsep tersebut
Belum lagi orientasinya yang hanya mengejar angka pertumbuhan, sektor pertanian, UMKM, dan koperasi secara sistematis ditinggalkan karena fokus pembangunan infrastruktur diorientasikan ke sektor lain. Pelaku ekonomi yang dilirik pun adalah BUMN, BUMD, dan swasta besar (asing dan dalam negeri). Akibatnya, MP3EI malahan akan memperdalam ketimpangan antar-daerah, kesenjangan sosial-ekonomi dan kerusakan lingkungan. Sehingga kebijakan ini menciptakan “bom waktu” yang bisa menjadi ledakan konflik sosial akibat perebutan sumberdaya alam di segala lini.
Sudah jelas “bom waktu” kebijakan itu sebenarnya ditanam sendiri oleh pemerintah, dengan risiko yang akan ditanggung orang lain atau bersama-sama (karena itu studi manajemen risiko menjadi penting!), dengan tuduhan “anti-pembangunan”. Sebutan itu bisa berubah-ubah dari “antek komunis”, “anti-negara” sampai “gerombolan teroris” menyesuaikan situasi yang diaduk-aduk media massa yang dialamatkan kepada para penentang baik mereka yang berasal dari rakyat jelata, aktivis/intelektual maupun para kiai lokal. Lalu, seperti yang terjadi sudah-sudah, secara cepat konflik itu akan dipelajari, dinilai dan juga disiarkan lewat media massa (dalam negeri maupun luar negeri) sebagai konflik horizontal yang memperhadapkan rakyat kecil vs rakyat kecil, kiai vs kiai, kiai vs komunis, kristen vs islam, radikal vs moderat, syiah vs ahlussunnah, dan seterusnya.
Di sini kelihatan sekali, menjaga isi dan arah NKRI jauh lebih rumit ketimbang komitmen itu sendiri terhadap teritori. TNI memang punya peran penting untuk menjaga pertahanan teritori. Namun isi dan arahnya amat ditentukan oleh kebijakan sosial, ekonomi dan politik yang disusun atas kehendak dan kepentingan rakyat. Untuk itulah negara ada, pemerintah dipilih. Sebelum maupun sesudah lahir, NU tak pernah meragukan hal itu. Yang pasti tidak dikehendakinya adalah bila “NKRI harga mati” mesti dibayar dengan tumbal penjajahan ekonomi dan pemiskinan abadi (al-ifqor al-mustadamah). Wallahu a’lam bisshowab!
(MH Nurul Huda) Penulis adalah Pengurus Pusat Lembaga Talif wan-Nasyr Nahdlatul Ulama.
Dari Nu Online:
nu.or.idPKB Kab Tegal Nahdlatul Ulama PKB Kab Tegal