Rabu, 26 Januari 2011

Peringati Harlah, Pelajar NU Kraksaan Sosialisasikan Hasil Kongres IPNU

Probolinggo, PKB Kab Tegal - Pimpinan Cabang IPNU Kota Kraksaan Kabupaten Probolinggo memperingati Hari Lahir (Harlah) Ke-62 IPNU di Aula Kantor PCNU Kota Kraksaan di Jalan KH Abdurrahman Wahid Kelurahan Sidomukti Kecamatan Kraksaan, Sabtu (27/2). Pada kesempatan ini mereka menyosialisasikan hasil Kongres IPNU di Boyolali beberapa bulan lalu.

Kegiatan ini diikuti oleh 200 kader di antaranya PK IPNU Pesantren Nurul Jadid Paiton, PK IPNU Pesantren Darullughah wal Karomah, PK IPNU Pesantren Zainul Hasan, dan 6 Pimpinan Anak Cabang serta 25 orang alumni IPNU Kota Kraksaan.

Peringati Harlah, Pelajar NU Kraksaan Sosialisasikan Hasil Kongres IPNU (Sumber Gambar : Nu Online)
Peringati Harlah, Pelajar NU Kraksaan Sosialisasikan Hasil Kongres IPNU (Sumber Gambar : Nu Online)

Peringati Harlah, Pelajar NU Kraksaan Sosialisasikan Hasil Kongres IPNU

Peringatan ini disemarakkan dengan istighotsah dan diakhiri dengan pemotongan nasi tumpeng dan makan nasi tumpeng bersama. Tampak hadir Ketua PCNU Kota Kraksaan H Nasrullah A Suja’i dan Ketua IPNU Kota Kraksaan Masrur Ghazali.

H Nasrullah meminta para kader untuk selalu memperkuat aqidah Ahlussunnah wal Jamaah (Aswaja). Sebab saat ini sudah banyak paham-paham baru yang bertentangan dengan Aswaja.

PKB Kab Tegal

“Para kader harus senantiasa memperkuat Aswaja di tengah maraknya paham lain di luar NU. Hal itu sangat penting sebagai benteng agar kader NU tetap berpegang teguh kepada aqidah Aswaja,” katanya.

PKB Kab Tegal

Sementara Wakil Ketua IPNU Kota Kraksaan Khairul Imam mengungkapkan, peringatan Harlah Ke-62 IPNU ini bertujuan untuk memperkuat silaturahmi antara kader dan alumni supaya ikatan keduanya semakin erat.

“Semoga melalui kegiatan ini para kader IPNU tidak melupakan sejarah berdiri dan perjuangan IPNU. Dengan demikian akan menambah semangat dan motivasi dalam menjalankan roda organisasi sebagai wadah untuk menampung aspirasi pelajar,” ungkapnya. (Syamsul Akbar/Alhafiz K)

Dari Nu Online: nu.or.id

PKB Kab Tegal Doa, Berita PKB Kab Tegal

Sabtu, 22 Januari 2011

Niat dan Angkat Tangan dalam Takbiratul Ihram

Niat bagaikan pintu gerbang yang memisahkan antara dua ruang yang berbeda. Ruang profan keduniawian yang hina dengan ruangan sakral di mana seorang hamba akan berkomunikasi dengan-Nya. Karena itu ketika hati telah berniat, maka pintu itu telah terbuka dan berarti kaki sudah menginjak ke ruang sakral. Teguhkanlah hati ucapkanlah selamat tinggal kepada dunia yang penuh dengan berbagai urusan yang sepele. Karena urusan yang ada di depan jauh lebih penting dari segala-galanya.

Hadirkanlah niat di dalam hati bersamaan dengan lisan yang mengucapkan takbir. Karena sesungguhnya niat itu adalah menyengaja melakukan sesuatu bersamaan dengan pekerjaannya dalam hal ini adalah takbiratul ihram ‘Allahu Akbar’. Panjang kata Allah dalam ‘Allahu Akbar’ menurut Imam Ali Syibromalisi hanya dibatasi maksimal ukuran tujuh alif tidak boleh lebih. Diharapkan dengan panjang tujuh alif ini dapat memuat segala unsur niat yang adala dalam hati.

Adapun hal yang harus termuat dalam hati ketika berniat adalah kejelasan sifat shalatnya. Fardhu atau sunnah, dhuhur atau ashar, dan seterusnya. Oleh karena itulah niat shalat fardhu ? minimal berbunyi ushalli fardha dhuhri ? (aku niat shalat dhuhur) adapun keterangan tambahan arba’a raka’tin, mustaqbilal qiblati, ada’an, lillahi ta’ala (empat raka’at, menghadap kiblat, sekarang juga –tidak qadha’-, karena Allah) adalah sunnah hukumnya. Demikian keterangan dalam Fathul Muin.

Selain mengucap takbir di lisan dan niat dalam hati juga harus dibarengi dengan mengangkat tangan dan meletakkannya di bawah dada di atas pusat, dengan tangan kanan di atas tangan kiri. Sebagaimana kemuliaan tangan kanan dai pada tangan kiri. Sebaiknya tangan itu diangkat dengan tidak lertalu tinggi, sekira jari jempol sepadan dengan telingan. Dan diangkat dengan tidak terlalu keras demikian juga ketika menurunkannya.

Niat dan Angkat Tangan dalam Takbiratul Ihram (Sumber Gambar : Nu Online)
Niat dan Angkat Tangan dalam Takbiratul Ihram (Sumber Gambar : Nu Online)

Niat dan Angkat Tangan dalam Takbiratul Ihram

Syaikh Nawawi dalam NIhayatuz Zain, menerangkan bahwa pengangkatan ini sebagai isyarat membuka hijab antara seorang hamba dan Allah swt. sehingga antara keduanya tidak ada lagi penghalang.

? ? ? ? ? ? ? ? ? ? ?. ? ? ? ? ? ? ? ? ?

PKB Kab Tegal

Hikmah di dalam pengangkatan tangan (ketika takbir) adalah isyarat membukakan tabir antara seorang hamba dan Allah swt. Imam Syafi’I berkata bahwa hikamah mengangkat tangan adalah pengakuan seorang hamba akan keagungan-Nya dan mengharap pahala dari-Nya.? ? ? ? ? ? ? ?

Dengan kata lain, niat sebagai pintu gerbang memasuki alam sakral harus disertai dengan mengangkat tangan sambil menyeru takbir sebagai pembuka hijab. ? Hal seolah menjadi syarat akan penyamaan frekwensi antar seorang hamba dengan Allah swt. karena sebuah komunikasi akan terjalin jika dalam frekwensi yang sama ? (Red. Ulil H).

Dari Nu Online: nu.or.id

PKB Kab Tegal

PKB Kab Tegal Hadits, Pondok Pesantren PKB Kab Tegal

Selasa, 04 Januari 2011

Aswaja Berparadigma Global

Muhammad Al-Fayyadl*--- Dalam sebuah sarasehan Aswaja (Ahlussunnah wal jama’ah) yang diselenggarakan para pemuda dan pemudi Nahdlatul Ulama (IPNU dan IPPNU) di sebuah kota kecil di Jawa Timur, pertanyaan jenial itu muncul: bagaimana ber-Aswaja dengan cara berpikir global?

Bukan semata-mata karena yang melontarkannya anak-anak muda yang datang dari desa dan latar belakang keluarga santri yang sederhana. Tetapi juga karena pertanyaan itu datang dari sebuah tempat di pelosok, yang cukup jauh dari hiruk-pikuk keriuhan “politik global” – berbeda bila datang dari kalangan mahasiswa atau warga NU yang berada di luar negeri.

Aswaja Berparadigma Global (Sumber Gambar : Nu Online)
Aswaja Berparadigma Global (Sumber Gambar : Nu Online)

Aswaja Berparadigma Global

Ada sederet hal yang menjadi kegelisahan anak-anak muda itu, yang diajukan kepada penulis untuk dijawab dalam sesi panel diskusi: bagaimana Aswaja di mata dunia? Bagaimana ber-Aswaja di era globalisasi? Dan pada gilirannya, bagaimana ber-Aswaja dengan cara berpikir global?

PKB Kab Tegal

Pertanyaan-pertanyaan yang tak mudah. Pertama, pertanyaan itu melampaui apa yang dipikirkan oleh para tokoh NU yang berjasa merumuskan pemikiran ke-Aswaja-an NU, sebutlah – untuk menyebut generasi mutakhir – Gus Dur atau Kiai Said Aqil Siradj sendiri. (Lagi-lagi kita akan kaget bercampur gembira bahwa pertanyaan itu dilontarkan oleh santri-santri muda NU.) Wacana Aswaja yang menjadi bidang garapan para tokoh tersebut, khususnya Gus Dur (untuk menyebut stadium terakhir dan bentuk paling “kosmopolit” dari wacana Aswaja yang pernah dimunculkan NU), baru berhenti pada ranah negara (bagaimana agama mendapat tempat dalam negara yang bukan negara Islam), dan belum pada ranah antar-negara (inter-states), lebih-lebih antar-bangsa (inter-national). Secara konseptual, dalam berbagai tulisannya, ada fase ketika persoalan-persoalan dunia menjadi perhatian Gus Dur. Yang pertama, secara analogis, yaitu ketika Gus Dur mencoba memandang persoalan-persoalan dunia secara analogis dengan yang terjadi di dalam negeri. Ini fase esai-esai di Tuhan Tidak Perlu Dibela. Selebihnya fase keterlibatan (engagement), yaitu ketika Gus Dur melibati persoalan itu dengan menempatkan keprihatinannya pada titik yang sentral: bagaimana Islam dapat terlibat dalam membangun perdamaian dunia. Tetapi tidak secara khusus tentang Aswaja.

Kedua, pertanyaan itu membuka dimensi yang tidak terpikirkan dalam pemikiran ke-NU-an yang berpijak pada pengalaman lokalitas dan penghayatan atas hal-hal yang familiar dari tradisi setempat. Sangat sulit, jika bukannya “intimidatif”, memaksa seorang warga NU untuk berkomentar tentang suatu dinamika politik di Argentina, atau memintanya menanggapi sebuah penangkapan demonstran di sebuah pawai massa di New York. Hal-hal itu terlalu asing dan jauh dari dunia “kultural”-nya. Praktis pertanyaan itu hanya dapat dilontarkan oleh generasi NU yang lain, yang terikat dengan lokalitasnya namun mengalami pertemuan dengan arus global dan dituntut menanggapinya, sedikit-banyak untuk meredam kontradiksi antara lokalitasnya dan arus baru yang dapat mengasingkannya dari lokalitas itu.

PKB Kab Tegal

Dan itulah persisnya yang dihadapi anak-anak muda itu, yang mungkin merasakan bahwa dunia kini telah menjadi bagian dari kampung halaman mereka yang terdekat.

Untuk memenuhi permintaan mereka, penulis membuat sebuah draft yang berjudul “Aswaja untuk Kekinian: Tantangan Global, Jawaban Lokal”. Untuk merintis suatu pendekatan “global” atas Aswaja, kita mesti menjadikan fenomena global sebagai tantangan. Namun merumuskan tantangan itu saja tidak mudah, karena persoalan-persoalan global yang dihadapi oleh umat manusia hari ini sudah sedemikian kompleks dan berjalin-kelindan dengan persoalan-persoalan struktural yang ruwet dan diferensiasi kehidupan yang kelihatannya terpisah namun terkait satu sama lain. Scott Sernau, dalam Global Problems (2006), menyebut sedikitnya dua belas rumpun persoalan: kelas, kerja, gender dan keluarga, pendidikan, kejahatan, perang, demokrasi dan HAM, etnisitas dan agama, urbanisasi, populasi dan kesehatan, teknologi dan energi, serta ekologi. Sementara Aswaja? Aswaja adalah suatu paradigma beragama. Dapatkah suatu paradigma beragama menjawab sederet persoalan yang penyelesaiannya membutuhkan pendekatan “non-agama”?

Belajar dari kegagalan setiap gerakan yang ingin menjadikan agama sebagai solusi yang tuntas dan instan, maka Aswaja tidak dapat diperlakukan sebagai satu-satunya jawaban “dogmatis”, melainkan sebagai tawaran, suatu proposal, suatu kerangka kerja, suatu inspirasi bagi transformasi dunia yang lebih baik, dalam arti sebenarnya. Tidak semua orang, tentu saja, menganut Aswaja, tetapi Aswaja dapat menjadi kerangka kerja yang memungkinkan berbagai pihak bekerja bersama untuk mencari solusi atas persoalan bersama yang dihadapi.

Lagi-lagi persoalannya tidaklah semudah membalik telapak tangan. Lebih mudah menjawab “bagaimana Aswaja di mata dunia” daripada “bagaimana ber-Aswaja dengan cara berpikir global”, lebih-lebih “bagaimana memecahkan persoalan dunia dengan kerangka berpikir Aswaja”. Pertanyaan pertama dapat dijawab dengan menyajikan statistik: Aswaja, atau Sunnism, dianut oleh kira-kira delapan puluh persen umat Muslim di dunia, kecuali di beberapa negara di mana Syi’ah (Shiism) atau ideologi-ideologi keagamaan lain dominan. Kepenganutan itu sendiri sudah menjadi kekuatan besar untuk suatu perubahan, atau minimal mempertahankan suatu tradisi yang baik dari pengrusakan kekuatan-kekuatan luar.

Hal itu terlihat dari kasus Tunisia dalam Pemilu terakhir baru-baru ini – kekuatan politik Sunni dapat membendung kekuatan politik reaksioner anti-demokratis, yang ingin memanfaatkan situasi pasca-revolusioner untuk tujuan-tujuannya yang sempit. Namun, itu pun tidak sepenuhnya. Kepenganutan Aswaja yang kuat tidak menjamin kemampuannya untuk diporakporandakan oleh ekstremisme dan ideologi-ideologi keagamaan militan yang reaksioner. Gerakan takfiri dan ekstremis-teroristik yang haus kekuasaan, seperti Wahhabi (untuk yang pertama) dan ISIS (untuk yang kedua), terus menjadi tantangan yang mengintai setiap saat.          

Pertanyaan tentang “bagaimana Aswaja di mata dunia”, dengan kata lain, adalah semata soal membuka dan mengetahui seberapa dalam dan seberapa besar kekuatan “internal” umat Muslim di dunia hari ini, yang sebagian besar bisa dipastikan menganut setidaknya satu dari keempat mazhab fiqh dan berakidah dengan salah satu dari dua mazhab teologi Asy’ariyyah dan Maturidiyyah, serta menerima tasawuf sebagai warisan tradisional yang berharga. Namun itu bukan jaminan untuk membanggakan diri. Mengetahui kenyataan demikian, juga berarti bertanya tentang seberapa kuat daya tahan Aswaja menghadapi godaan perpecahan umat, sektarianisme, dan aksi-aksi kekerasan yang dilancarkan oleh kaum puritan. Seberapa ampuh dan efektif Aswaja dapat menjadi pelindung bagi tradisi-tradisi yang baik (al-qadim ash-shalih) yang setiap saat berada dalam ancaman destruksi, dan terus-menerus menjadi sasaran kaum puritan itu?    

Dengan bertanya demikian, mungkin kita akan mampu menjawab “bagaimana ber-Aswaja di era globalisasi”. Dengan mengetahui kekuatan dan daya tahan internal Aswaja, kita dapat mengukur seberapa jauh kekuatan tersebut mampu menghadapi tantangan-tantangan global. Seperti disinggung di atas, tidak cukup memahami Aswaja semata-mata Aswaja sebagai paham keagamaan, sementara tantangan global yang dihadapi tidak mesti bersifat keagamaan. Paham keagamaan itu merupakan modal yang perlu di-upgrade  agar dapat menjadi perekat bagi ikatan-ikatan sosial yang riil yang setiap saat mengalami proses pelapukan dan destruksi karena globalisasi yang mendorong individualisme, eksploitasi, kekerasan, dan oportunisme yang sempit. Dengan berlandaskan pada sikap-sikap tawassuth, tawazun, dan i’tidal, maka keragaman pemahaman dan praktik keagamaan yang menjadi mozaik dari kaum Sunni di berbagai negeri akan dapat meregenerasi ikatan-ikatan sosial itu, dan memperkuat tidak saja persaudaraan seagama (ukhuwwah islamiyyah) tetapi juga persaudaraan kemanusiaan (ukhuwwah basyariyyah). Aswaja tidak saja muncul sebagai ikatan keagamaan, tapi juga ikatan sosial baru. Seorang Muslim kulit langsat di pelosok Indonesia dapat menjalin ikatan dengan seorang Muslim kulit hitam dari Afrika Tengah, atau seorang muallaf kulit putih dari sebuah negeri di Eropa Barat. Perbedaan dan keragaman latar belakang ras, budaya, dan mazhab fiqh yang dianut menjadi kekuatan yang mempertemukan dan memungkinkan lahirnya solidaritas baru.

Globalisasi yang dimungkinkan oleh interaksi dan konektivitas di antara berbagai pihak, dapat memungkinkan ikatan-ikatan baru yang tak terduga di antara berbagai elemen penganut Aswaja di berbagai negeri. Hal ini akan memungkinkan pengenalan akan lokalitas masing-masing, dengan melihat keterbatasan masing-masing lokalitas sebagai salah satu dari sekian manifestasi dari keragaman wajah Islam. Kekhasan dialek, kekhasan tradisi zikir dan perayaan sosial (Maulid, khitanan, perayaan kelahiran) akan terungkap dalam pertemuan antar-lokalitas itu. Jika Gus Dur pernah menggulirkan gagasan “pribumisasi Islam”, maka dalam perspektif global, penting melihat bagaimana pribumisasi itu terjadi di masing-masing negeri; bagaimana setiap komunitas Muslim mempribumikan Islam dengan caranya masing-masing. Tekanan akan lokalitas masing-masing komunitas Muslim itulah yang akan membedakan “kosmopolitanisme” Aswaja dari kosmopolitanisme dalam teori-teori liberal yang mempromosikan pluralisme tanpa keberakaran tertentu atas lokalita.

Lokalitas itu mungkin menjadi suatu parameter bagi suatu konsepsi yang lebih komprehensif tentang Aswaja berparadigma global. Tetapi itu baru satu parameter, yang bisa jadi belum satu-satunya. Dibutuhkan “ijtihad” untuk menggali Aswaja berparadigma global. Tetapi satu hal setidaknya pasti: generasi Aswaja berwawasan global merupakan generasi poliglot yang mampu berinteraksi dengan beragam bahasa.[]

*Mantan Ketua Tanfidziyah Pengurus Cabang Istimewa (PCI) NU Prancis, Periode 2013-2014.

Dari Nu Online: nu.or.id

PKB Kab Tegal Hikmah, Halaqoh, Internasional PKB Kab Tegal