Senin, 25 Oktober 2010

Kitab Nadham ‘Sejarah Besar NU’ Karya KH Abdul Halim Leuwimunding

Ini adalah naskah kitab yang berjudul “Sejarah Perjuangan Kiyahi Haji Abdul Wahhab” karangan salah satu pendiri organisasi Nahdtalul Ulama (NU) yang berasal dari Pasundan (Jawa Barat), tepatnya dari Leuwimunding, Majalengka, yaitu KH. Abdul Halim (1898-1972 M).

Kitab ini ditulis dalam bahasa Melayu-Indonesia beraksara Arab (Jawi-Pegon) dalam bentuk nadhaman (puisi Arab). Meski berjudul “Sejarah Perjuangan Kiyahi Haji Abdul Wahhab” (KH. Abdul Wahhab Hasbullah), namun kandungan kitab ini mengungkapkan sejarah besar pendirian dan perjuangan NU dari masa ke masa.

Kitab Nadham ‘Sejarah Besar NU’ Karya KH Abdul Halim Leuwimunding (Sumber Gambar : Nu Online)
Kitab Nadham ‘Sejarah Besar NU’ Karya KH Abdul Halim Leuwimunding (Sumber Gambar : Nu Online)

Kitab Nadham ‘Sejarah Besar NU’ Karya KH Abdul Halim Leuwimunding

KH. Abdul Halim Leuwimunding adalah salah satu murid terdekat dari KH. Abdul Wahhab Hasbullah (Tambak Beras Jombang), sekalus kader andalan beliau. Ketika ikut sama-sama membidani kehaliran NU pada tahun 1926 M di Surabaya, KH. Abdul Halim Leuwimunding menjadi salah satu pendiri termuda (selain KH. As’ad Syamsul Arifin, Asembagus Situbondo), sekaligus satu-satunya pendiri yang berasal dari Pasundan. Pada saat itu, KH. Abdul Wahhab Hasbullah menunjuk KH. Abdul Halim Leuwimunding sebagai katib tsani.

PKB Kab Tegal

Melalui kitab ini, sejarah organisasi Islam berhaluan Ahlussunnah wal Jama’ah itu didedahkan oleh KH. Abdul Halim Leuwimunding dalam bentuk puisi secara runut, ringkas, dan kaya akan data serta informasi. Karena itu, keberadaan kitab ini menjadi sangat penting sebagai salah satu sumber utama sejarah besar NU yang langsung ditulis oleh salah satu pendirinya.

Saya mendapatkan salinan naskah ini dari sahabat saya al-Fadhil Agus H. Muhammad al-Barra putra KH. Asep Saifuddin Chalim, yang merupakan cucu dari pengarang kitab ini. Rencananya kitab ini akan dijadikan beliau sebagai bahan utama kajian disertasi doktoral beliau pada Departemen Filologi Universitas Padjadjaran Bandung.

Pada kolofon, disebutkan penulisan kitab ini diselesaikan pada 12 September 1970 M (bertepatan dengan 11 Rajab 1390 Hijri). Kitab ini kemudian dicetak oleh Percetakan “Baru” yang terletak di Jalan Pajagalan 3, Bandung (Jawa Barat), dengan tebal 31 halaman. Tertulis di sana;

PKB Kab Tegal

? ? ? ? ? ? # ? ? ? ? ?

? ? ? ? ? # ? ? ? ? ?

? ? ? ? # ? ? ? ? ? ?

(Dapat izin dicetak ini riwayat # ialah tanggal dua belas itu tepat

September Sembilan belas tujuh puluh # saya menghadap ke Jombang dengan sungguh

Mudah-mudahan Tuhan memberi manfaat # pada riwayat ini yang saya singkat)

Melihat tanggal penulisan kitab ini dalam tahun Hijriah, yaitu 11 Rajab 1390 H), tampaknya kitab ini ditulis untuk menyambut peringatan hari lahir NU yang ke-46. Organisasi NU sendiri diresmikan pada 16 Rajab 1344 Hijri (bertepatan 31 Januari 1926 Masehi).

Dalam kata pengantarnya, KH. Abdul Halim Leuwimunding mengatakan jika banyak koleganya yang hendak mengetahui sejarah besar NU dari awal mula berdirinya, peran serta kiprahnya dalam perjuangan keagamaan Islam, kebangsaan Indonesia, serta kemanusiaan, hingga sampai pada tahun 1970 ketika karya ini ditulis dan NU sudah menjadi sebuah organisasi keislaman terbesar di Nusantara. Beliau menulis;

? ? ? ? ? # ? ? ? ?

? ? ? () ? # ? ? ? ? ?

? ? ? ? ? # ? ? ? ?

? ? ? ? ? # ? ? ? ? ? ?

(Saya bikin riwayat pada poko[k]nya # banyak teman ingin mengetahuinya

Ingin tau asal NU berdirinya # hingga jadi [se]perti besarlah nyatanya

Menyeluruh sudah dikenal namanya # tidak asing dunia mengetahuinya

Maka yang tempo berdiri pertamanya # hanya tinggal yang masih empat orangnya).

KH. Abdul Halim Leuwimunding kemudian melanjutkan;

? ? ? ? ? # ? ?2 ? ?

? ? ? ? # ? ? ? ?

? ? ? ? ? # ? ? ? ? ?

(Saya susun ialah dengan si’iran # biar anak-anak tau bergembiraan

Mengetahui ulama cara berpikir # mengetahui tradisi bahan pemikir

Murni tidak tercampuri ide penjajah # sebab ngerti sifat manusia huriah [merdeka]).

Dalam menulis kitab nadham sejarah besar NU ini, KH. Abdul Halim terlebih dahulu meminta izin dan restu dari KH. Abdul Wahhab Hasbullah (w. 1971 M) dan KH. Ahmad Syaikhu (w. ?), dan KH. Idham Cholid (yang saat itu menjabat sebagai Ketua Umum PBNU). KH. Abdul Halim Leuwimunding menulis;

? ? ? ? ? ? # ? ? ? ? ? ?

? ? ? ? ? ? # ? ? ? ?

? ? ? ? ? # ? ? ? ? ? ?

(Saya minta izin Pak Kiyai Wahhab # sebab itu guru saya waktu tholab (belajar)

Minta izin Pak Syaikhu ialah sebabnya # sebab Surabaya mulai berdirinya (NU)

Juga minta izin ke ketua umum # Pak Kiyai Idham (Cholid) pemimpin harus maklum).

Dikatakan oleh KH. Abdul Halim Leuwimunding, bahwa dalam menyusun kitab nadham sejarah besar NU ini, dirinya bersandar pada muktamar-muktamar NU yang hingga pada masa itu sudah berlangsung 24 kali. Kesemua (24) muktamar itu selalu dihadiri oleh beliau. Karena itu, sebaga macam perkembangan, perubahan, dan keputusan NU dari masa ke masa dapat diketahui dengan sangat baik oleh beliau.

KH. Abdul Halim Leuwimunding wafat dan dikebumikan di tempat kelahirannya di Leuwimunding, Majalengka, pada 11 April 1972 M (bertepatan dengan 26 Safar 1392 Hijri). Beliau meninggalkan sebuah pesantren dan institusi pendidikan yang masih lestari hingga kini, yaitu Sabilul Chalim. Salah satu putra beliau, KH. Asep Saifuddin Chalim, tinggal dan berkarir di Surabaya dengan mendirikan pesantren unggulan Amanatul Ummah. KH. Asep Saifuddin Chalim pernah menjabat sebagai ketua PCNU Surabaya dan kini sebagai Ketua Pimpinan Pusat Persatuan Guru Nahdlatul Ulama (Pergunu). (A. Ginanjar Sya’ban)



Dari Nu Online: nu.or.id

PKB Kab Tegal AlaSantri, Habib, Makam PKB Kab Tegal

Minggu, 03 Oktober 2010

Ahmad Tohari: "Eling", Kata Kunci Masuki Ruh Pancasila

Jakarta, PKB Kab Tegal. Budayawan Ahmad Tohari (Kang Tohari) menilai saat ini banyak elemen masyarakat Indonesia, termasuk para pemimpinnya, menginginkan Pancasila ditegakkan kembali. Tetapi, tantangan sekarang ialah pola kehidupan yang sudah sangat sekuler. Sedangkan Pancasila tidak bisa dikatakan sekuler, karena salah satu sila dalam Pancasila (sila pertama) mencantumkan “Ketuhanan yang Maha Esa”.? Demikian dikatakan penulis novel Ronggeng Dukuh Paruk? itu dalam wawancara dengan PKB Kab Tegal, Selasa (31/5).

Indonesia, lanjut Kang Tohari, sekarang menganut sebuah sistem kehidupan dan falsaah yang berdasarkan Ketuhanan yang Maha Esa, tetapi di dalam situasi yang sangat sekuler meterialistik. Menurutnya, ini adalah suatu hal yang sangat kontradiktif. Realita yang kita alami sehari-hari adalah bahwa Pancasila sudah tergeser ke belakang atau ke samping.?

Ahmad Tohari: Eling, Kata Kunci Masuki Ruh Pancasila (Sumber Gambar : Nu Online)
Ahmad Tohari: Eling, Kata Kunci Masuki Ruh Pancasila (Sumber Gambar : Nu Online)

Ahmad Tohari: "Eling", Kata Kunci Masuki Ruh Pancasila

“Saya sendiri menilai Pancasila merupakan pencapaian tertinggi kebudayaan Indonesia. Tetapi, Pancasila sudah tergeser dari batin masyarakat,” kata Kang Tohari.

Ia mencontohkan banyak pelajar yang saat diminta menyebutkan sila-sila dalam Pancasila, sudah tidak bisa lagi. Itu merupakan gejala terpinggirkannya Pancasila dari batin masyarakat Indonesia.? Hal yang sangat memprihatinkan, kata Kang Tohari, masyarakat tidak menyadari atmosfer saat ini yang sangat materialistis dan sangat sekuler, bukanlah ruang yang baik untuk Pancasila.?

Kenyataan saat ini kita sudah hidup dalam suatu sistm ekonomi yang mengutamakan akumulasi modal dan keuntungan. Aspek-aspek kemanusiaan, keadilan, apalagi Ketuhanan, tidak ada di dalam sistem ekonomi yang berlaku sekarang. Dan sistem ini sudah sangat menguasia kita dari tingkat atas sampai ke dasar.

PKB Kab Tegal

“Entah mau bagaimana cara kita menegakkan kembali Pancasila,” tutur Kang Tohari dengan nada getir.

PKB Kab Tegal

Disinggung banyaknya pihak yang mengatakan akan melakukan upaya memperkuat Pancasila, ? Kang Tohari mengatakan kesangsiannya.? “Saya ragu, karena banyak orang mengaku pecinta dan pembela Pancasila, tetapi mereka juga tidak tahu bagaimana cara untuk masuk ke dalam ruh Pancasila,” ungkap Kang Tohari.

Menurutnya kunci untuk memasuki nilai-nilai atau ruh Pancasila adalah dengan eling (mengingat dan menyadari sungguh-sungguh, red) ? tentang eksistensi, peran dan fungsinya.? Kang Tohari mencontohkan, misalnya seorang suami yang eling, ia tahu harus bekerja memenuhi kebutuhan keluarga, setia kepada keluarga, tahu perkembangan anak-anaknya, dan mampu meletakkan keberadaan keluarganya di tengah-tengah masyarakat.

“Kalau saya sebagai orang Islam yang eling, ya tentu harus melaksanakan seluruh inti keluhuran agama Islam. Bukan hanya menjalankan syariatnya saja, tatapi juga membumikannya ke dalam perilaku. Sebagai orang Islam tentu menjalankan perilaku dengan akhlakul karimah.

Demikian juga bila saya seorang pegawai atau pejabat yang eling, saya harus sadar bahwa jabatan adalah pemberian rakyat. Saya adalah pelayan rakyat, dan akan saya kembalikan gaji yang saya terima dengan pelayanan sebaik-baiknya kepada rakyat. Saya harus jujur, dan menjaga komitmen,” lanjut Kang Tohari.

Celakanya, kata Kang Tohari, sekarang ini sangat sedikit pejabat yang eling seperti itu. Banyak pejabat yang berpikir bahwa jabatan adalah alat kekuasaan mereka, bukan sebagai amanat dari rakyat untuk kesejahteraan rakyat. (Kendi Setiawan/Fathoni)

Dari Nu Online: nu.or.id

PKB Kab Tegal Halaqoh, Pesantren, Khutbah PKB Kab Tegal