Rabu, 29 September 2010

Pemuda Ansor Probolinggo Diminta Aktif Bangun Daerah

Probolinggo, PKB Kab Tegal. Bupati Probolinggo Hj Puput Tantriana Sari mengajak para pemuda Ansor yang tergabung dalam GP Ansor Kota Kraksaan dan Kabupaten Probolinggo untuk terlibat aktif dalam pembangunan, terutama dalam hal pemberantasan minuman keras (miras).

Ajakan tersebut disampaikan Bupati Probolinggo pada pelantikan kepengurusan GP Ansor Kota Kraksaan masa khidmah 2014-2018 yang digelar di Gedung Islamic Center (GIC) Kota Kraksaan, Kamis (7/1).

Pemuda Ansor Probolinggo Diminta Aktif Bangun Daerah (Sumber Gambar : Nu Online)
Pemuda Ansor Probolinggo Diminta Aktif Bangun Daerah (Sumber Gambar : Nu Online)

Pemuda Ansor Probolinggo Diminta Aktif Bangun Daerah

“Pemuda Ansor harus terlibat secara aktif membantu pemerintah daerah, terutama dalam pemberantasan peredaran miras. Sebab miras ini merupakan sebuah ancaman yang sangat nyata yang merusak moral anak muda. Tentunya akan merusak masa depan generasi muda. Butuh kerja sama dan kerja keras dalam memberantas miras,” ujarnya.

PKB Kab Tegal

Menurut Tantri, saat ini Pemkab Probolinggo tengah fokus meningkatkan Indek Pembangunan Manusia (IPM) dan menurunkan prosentase angka kemiskinan. Dalam program ini, pemuda Ansor diminta untuk ambil bagian di dalamnya melalui program pemberdayaan ekonomi masyarakat.

PKB Kab Tegal

“Buatlah sebuah program yang mampu memberdayakan ekonomi masyarakat melalui keterlibatan pemuda Ansor. Saya yakin, pemuda Ansor lebih tahu apa yang dibutuhkan masyarakat demi mengangkat derajat dan kesejahteraan hidupnya,” jelasnya.

Walaupun Kota Kraksaan resmi menjadi ibukota Kabupaten Probolinggo jelas Tantri, pemuda Ansor dan masyarakat diminta agar tidak meniru budaya orang kota di luar Probolinggo yang bertentangan dengan ketentuan perundang-undangan dan syariat agama.

“Karena itu, kalau ada hal yang dinilai menyimpang dari ketentuan perundang-undangan dan syariat agama, harap segera melaporkan kepada pihak berwajib,” pintanya.

Sementara Ketua GP Ansor Kota Kraksaan Taufik berharap agar Ansor bisa istiqomah berkontribusi mengawal tegaknya Ahlussunnah wal Jamaah (Aswaja) dan tertanamnya semangat Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) serta pro aktif mengawal program pemerintah agar dapat dirasakan masyarakat, khususnya warga NU.?

Mohon doa dan dukungan dari para alim ulama dan pemerintah,” katanya. (Syamsul Akbar/Alhafiz K)

Dari Nu Online: nu.or.id

PKB Kab Tegal Tegal, Bahtsul Masail PKB Kab Tegal

Jumat, 24 September 2010

Pelajar NU Kraksaan Aktif Sosialisasikan Pendewasaan Usia Nikah

Probolinggo, PKB Kab Tegal. Pimpinan Cabang Ikatan Pelajar Nahdlatul Ulama (IPNU) Kota Kraksaan bekerja sama dengan Badan Pemberdayaan Perempuan dan Keluarga Berencana (BPPKB) Kabupaten Probolinggo, Jawa Timur Zmemberikan sosialisasi pendewasaan usia perkawinan di MTs Wali Songo 1 Maron, Senin (19/9).

Kegiatan ini diikuti oleh 50 orang peserta yang mayoritas adalah pelajar dari MTs Wali Songo 1 Maron, MA Wali Songo Maron, MTs Sunan Giri Maron serta beberapa lembaga pendidikan yang ada di Desa Kedungsari Kecamatan Paiton. Dalam kesempatan tersebut, para pelajar NU ini diajak supaya tidak menikah pada usia muda.

Pelajar NU Kraksaan Aktif Sosialisasikan Pendewasaan Usia Nikah (Sumber Gambar : Nu Online)
Pelajar NU Kraksaan Aktif Sosialisasikan Pendewasaan Usia Nikah (Sumber Gambar : Nu Online)

Pelajar NU Kraksaan Aktif Sosialisasikan Pendewasaan Usia Nikah

Hadir dalam kegiatan tersebut Kepala Bidang Pemberdayaan dan Kelembagaan Masyarakat BPPKB Kabupaten Probolinggo Herman Hidayat, Ketua PC IPNU Kota Kraksaan Masrur Ghazali didampingi Wakil Ketua PC IPNU Kota Kraksaan Rifqi Maulana serta narasumber dari KUA Kecamatan Maron.

Wakil Ketua PC IPNU Kota Kraksaan Rifqi Maulana mengatakan sosialisasi pendewasaan usia perkawinan ini sangat penting diberikan kepada para pelajar mengingat banyaknya pernikahan diusia dini yang pada akhirnya bisa menimbulkan perceraian akibat kekurangdewasaan antara dua pasangan.?

PKB Kab Tegal

“Kegiatan ini dimaksudkan untuk memberikan pemahaman kepada para pelajar untuk menikah pada usia yang ideal. Tujuannya agar para pemuda di desa, khususnya pelajar tidak terlalu terburu-buru untuk menikah di usia yang masih belia,” katanya.

Rifqi mengharapkan agar melalui kegiatan ini para pelajar bisa menikah pada usia yang ideal untuk membentuk keluarga yang sakinah, mawaddah dan warahmah. Tetapi bagi yang sudah tunangan supaya menunda terlebih dahulu hingga usianya benar-benar ideal.

“Sebab menikah itu tidak hanya untuk satu dan dua hari saja, tetapi sekali untuk selamanya. Oleh karena itu jika usianya kurang matang dan belum dewasa, maka akan menyebabkan banyak perceraian karena belum siapnya mental mengarungi kehidupan berumah tangga,” tegasnya.

Sementara Kepala Bidang Pemberdayaan dan Kelembagaan Masyarakat BPPKB Kabupaten Probolinggo Herman Hidayat menyampaikan bahwa kegiatan ini merupakan salah satu upaya yang dilakukan dalam rangka mengajak masyarakat untuk menikah pada usia yang ideal. Harapannya bisa memberikan pemahaman kepada para pelajar dan orang tua supaya tidak menikah pada usia dini.

PKB Kab Tegal

“Kegiatan ini bertujuan untuk menekan angka pernikahan dini di Kabupaten Probolinggo. Sebab hal ini memerlukan partisipasi dan dukungan dari semua pihak. Menikah itu memang harus dilakukan oleh semua manusia, tetapi menikah pada usia yang ideal itu jauh lebih penting,” katanya. (Syamsul Akbar/Fathoni)

Dari Nu Online: nu.or.id

PKB Kab Tegal Hadits, Amalan PKB Kab Tegal

Jumat, 10 September 2010

NU: Jami’iyah dan Jama’ah

Oleh KH Abdurrahman Wahid

Tidak dapat dipungkiri lagi, bahwa kini tantangan melakukan modernisasi dalam NU mengambil bentuk modernisasi sistem pengelolaannya. Warga NU telah banyak yang menggunakan computer untuk urusan sehari-hari, hingga Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU) juga harus melaksanakannya. Di kantor PBNU yang baru, bertingkat Sembilan, terdapat sebuah lift sampai ke basement/lantai dasar. Seiring dengan itu, anak-anak dari pimpinan NU, dari tingkat pusat sampai tingkat dusun banyak yang menguasai berbagai bidang profesi, mengikuti berbagai jenjang pendidikan formal. Pada waktu penulis berbicara di muka pertemuan Ikatan sarjana NU (ISNU)- yang para pesertanya berjumlah sekitar 200 orang lulusan S2 dan peserta S3 di berbagai Universitas. Lebih banyak lagi yang tidak mengikuti pertemuan tersebut, karena kesibukan pekerjaan maupun letak kediaman mereka yang jauh dari Jakarta.

Ini tentu, menimbulkan berbagai kesulitan bagi pimpinan NU di berbagai tingkatan. Adakah ukuran yang digunakan menjadi berbeda-beda? Bukankah perbedaan pendidikan juga bisa mengakibatkan perbedaan profesi yang selanjutnya menjadi perbedaan dalam menggunakan nilai-nilai yang dianut seorang kiai dengan nilai-nilai yang dimiliki generasi muda. Ketika ayah penulis, KH. A. Wahid Hasyim, melakukan pembaruan pendidikan formal dengan membuat kurikulum campuran, jelas ia berbeda dari ayahnya yang masih mengajarkan kitab-kitab lama dengan menggunakan terjemahan bahasa Jawa di masjid Tebuireng, Jombang. Cara ayah beliau, sekarang diikuti oleh berbagai pesantren besar yang menggunakan kurikulum dan teks-teks pengajaran yang dinamai madrasah salafiyah (pesantren di Sukorejo/Asembagus di Situbondo, Ploso dan Lirboyo di Kediri adalah contoh dari model ini)

NU: Jami’iyah dan Jama’ah (Sumber Gambar : Nu Online)
NU: Jami’iyah dan Jama’ah (Sumber Gambar : Nu Online)

NU: Jami’iyah dan Jama’ah

Sebaliknya, Pondok Pesantern Tebuireng, Jombang, menggunakan kurikulum campuran dan bahkan menyelenggarakan bidang pendidikan formal berupa Sekolah Menengah Umum (SMU) tingkat pertama dan tingkat lanjutan. Begitu banyak variasi pendidikan formal yang dikembangkan di lingkungan NU, hingga payah kita menelusurinya. Yang semua itu, berpegang pada modernisasi harus bertumpu pada tradisionalisme. Karenanya, tuntutan perbaikan sistem merupakan dua buah perkembangan yang harus mencerminkan perjalanan NU sendiri. Para lulusan S2 dan penuntut S3 harus memperhitungkan tradisionalisme orang tua mereka, jika ingin meraih gelar kesarjanaan berbagai tingkatan tanpa gangguan.

Dalam pada itu, peranan kiai melalui pengajian umum dan wahana lain sejenis, juga tidak surut. Mereka melakukan modernisasi dengan cara mereka sendiri, termasuk dengan memperkenankan anak-anak mereka menjadi sarjana penuh bahkan S2/S3, setelah melalui pendidikan model lama yang sama sekali tidak memperhitungkan pendidikan formal non-agama di bawah tingkatan perguruan tinggi. Dengan sendirinya, ini berarti setahun dua tahun jenjang pendidikan lebih lama dari pada kalau mengikuti jenjang pendidikan campuran, tetapi itu pun sudah banyak dilakukan. Belum lagi kalau kita ingat variasi, yaitu anak-anak Kiai yang mengalami pendidikan cara lama, kemudian mengikuti jenjang pendidikan di fakultas-fakultas agama, seperti institut agama Islam negeri (IAIN) dan sekolah-sekolah tinggi agama Islam (STAI).

Dengan demikian, telah terbukti, penguasaan mata pengetahuan agama tetap dipandang sebagai salah satu tujuan yang ingin dicapai. Dengan mengetahui hal ini, kita lalu memahami mengapa ada berbagai jenis pendidikan yang ditempuh anak-anak NU, dari yang sepenuhnya pendidikan perguruan tinggi formal tanpa mengenal pengetahuan agama (perguruan tinggi umum, hingga tingkatan pendidikann ilmu-ilmu keagamaan Islam belaka). Dengan demikian, dapat dikatakan bahwa kaum muslimin menempuh jalan pendidikan formal yang tidak sama, dan dengan sendirinya ini berarti jama’ah (kumpulan orang banyak) yang dihasilkan juga berbeda-beda.

Dari uraian di atas, tampak jelas persepsi warga NU yang sangat bervariasi itu tidak memungkinkan adanya penanganan kultural/budaya yang satu, berlaku untuk semua warga NU. Dari yang paling kuno dan hanya mencari pengetahuan intuitif (menggunakan, petunjuk-petunjuk batin yang tidak diketahui rasionalistiknya), hingga pada sikap hidup yang sangat rasionalistik dan sama sekali tidak mementingkan hal-hal spiritual. Dalam hal, haruslah diterima kenyataan bahwa sikap hidup intuitif yang tidak rasional, berhadapan dengan sikap hidup rasional, yang tidak memperhitungkan factor-faktor intuitif.

PKB Kab Tegal

Jika demikian, jelas bahwa pembedaan antara yang organisatoris dan yang bersifat kultural, haruslah ditampung di lingkungan NU. Kita memang harus melakukan perbaikan-perbaikan organisatoris yang diperlukan, tetapi tanpa mengabaikan aspek-aspek intuitif (al-jawanib adz-dzauqiyyah) dalam kehidupan warga NU sekarang ini. Aspek-aspek intuitif ini, yang jelas sekali terlihat dalam karya al-Ghazali, Ihya ‘Ulûmid Dîn, benar-benar masih hidup dalam kenyataan yang diperlihatkan para kiai dan murid-murid mereka, masih berkembang sangat pesat di lingkungan NU. Hal ini disebut oleh penulis sebagai aspek-aspek kultural/budaya yang dimiliki organisasi Islam yang besar, seperti NU.

Dengan demikian, perbaikan sistem yang menyangkut NU sebagai organisasi, haruslah dapat menampung aspek-aspek intuitif tersebut. Hal inilah yang dengan sadar dibangun oleh tokoh-tokoh NU masa lampau, seperti KH. Mahfudz Siddieq, KH. Abdullah Ubaid, KH.A. Wahid Hasyim, dan KH. Ahmad Siddieq. Dengan sadar para pemimpin tersebut mencoba memasukkan aspek-aspek rasional dan aspek-aspek intuitif tersebut dalam pengambilan keputusan yang mereka lakukan. Karena itulah, mereka dapat diterima oleh “kaum kiai kolot/tradisional” maupun oleh kaum rasional di lingkungan NU sendiri. Nah, kedua kecenderungan tersebut sepenuhnya didukung oleh keluhuran moralitas (al-akhlaq al-karimah) yang kemudian dihancurkan oleh sistem politik korup yang berdasarkan KKN seperti kita kenal beberapa dasa warsa terakhir ini.

Jelaslah dari uraian di atas, bahwa aspek organisatoris/institusional harus menggunakan peralatan baru dan dibuat agar sesuai dengan ketentuan zaman. Tetapi, aspek-aspek intuitif juga tidak dapat ditinggalkan begitu saja, karena hal ini menyebabkan NU ditinggalkan oleh para kiai dan para pengikut-pengikutnya. Aspek-aspek organisatoris (jam’iyah) harus dapat menampung aspek-aspek intuitif (jama’ah) yang semakin dipersubur oleh hilangnya etika /moralitas/al-akhlaq al-karimah dari kehidupan kita dalam beberapa dasa warsa terakhir ini. Dalam lingkungan agama Khatolik-Roma, hal ini ditampung dalam dua organisasi yang saling berbeda: sistem kependetaan di satu sisi dan gerakan (kerasulan) awam, di sisi lain. Di samping hierarki Vatikan, ada perkumpulan masyarakat St. E’gidio di kota Roma. Dapatkah kedua jenis gerakan dengan kebutuhan yang berbeda ini dijadikan sebuah sistem, seperti terjadi di lingkungan NU sekarang?

PKB Kab Tegal

?

*) Tulisan ini pernah dimuat di Proaksi, 22 Februari 2002

Dari Nu Online: nu.or.id

PKB Kab Tegal Nahdlatul, Meme Islam PKB Kab Tegal